BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Jembatan merupakan
suatu konstruksi yang berfungsi sebagai penghubung jalan yang di halangi oleh
rintangan, seperti sungai, rawa-rawa atau jurang. Dengan dibangunnya jembatan
akan memperlancar arus lalu lintas atau transportasi. Dewasa ini pemerintah terus
meningkatkan prasarana dan sarana transportasi dalam rangka pemerataan
pembangunan dan salah satu upaya tersebut adalah pembangunan jembatan. Pada
umumnya jembatan terbuat dari beberapa macam bahan, diantaranya : jembatan
rangka kayu, jembatan dari beton, serta jembatan rangka baja.
Perencanaan jembatan
rangka baja meliputi perencanaan sandaran, gelagar utama, gelagar melintang,
perletakan trotoar, pedimensian dan profil yang digunakan, ikatan angin, plat
buhul, serta lendutan yang terjadi. Konstruksi jembatan yang direncanakan
termasuk dalam kelas A
mempunyai panjang bentang 32 meter, lebar 7 + (2 x 1) meter, tinggi 6 meter,
dan tebal aspal 5 cm.
1.2
Permasalahan
Permasalahan yang akan
diselesaikan pada penulisan rancangan struktur baja ini yaitu mengenai perencanaan
rangka baja berdasarkan metode LRFD (Load and Resistance Factor Design).
Analisa beban yang bekerja adalah merupakan bagian pertama dalam perencanaan
rangka baja dari sebuah konstruksi, apabila sistem dan distribusi beban telah
dianalisa memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam perencanaan, maka
konstruksi yang direncanakan ini aman terhadap kegagalan pada saat melayani
beban kerja. Jenis-jenis beban yang bekerja pada konstruksi jembatan terdiri
dari beban primer, beban sekunder, dan beban khusus.
1.3
Tujuan
Penulisan
Penulisan ini bertujuan
untuk merencanakan konstruksi jembatan tersebut dengan menggunakan profil yang
aman digunakan. Tanpa membandingkan dengan konstruksi yang telah ada, dan dapat
mengambil kesimpulan-kesimpulan dari konstruksi yang direncanakan. Selain itu
penulis mencoba menerapkan semua disiplin ilmu yang telah diperoleh selama
mengikuti kuliah untuk perencanaan dilapangan.
1.4
Metode
Pengumpulan Data
Data perencanaan telah
ditentukan oleh dosen pembimbing, adapun data yang diberikan adalah gambar
jembatan rangka baja type D dengan panjang
bentang 32 meter, lebar 7
+ (2 x 0,5)
meter, tinggi 6 meter, dan mutu baja profil (fy) = 250 Mpa, fu = 370 MPa, mutu baja
tulangan plat (fy) = 320
MPa.
1.5
Analisa
Teknik
Metode analisa struktur
yang digunakan dalam perencanaan jembatan rangka baja berdasarkan dengan rumus
umum yang berlaku untuk konstruksi jembatan rangka baja. Perhitungan gaya
batang akibat beban tetap digunakan metode Cremona dan untuk beban bergerak digunakan garis
pengaruh. Dalam perencanaan pembebanan digunakan Pedoman Perencanaan Pembebanan
Jembatan Jalan Raya (PPPJJR SKBI – 1.3.28.1987), serta menggunakan metode LRFD (Load and Resistance Factor Design)
Untuk alat sambung
gelagar jembatan direncanakan dari baut mutu tinggi yaitu M-24, dengan tegangan
yang diizinkan 3600 kg/cm2. Pelat untuk sambungan direncanakan dari
baja mutu St.52 dengan tegangan leleh (fy) 3600 kg/cm2.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Jembatan adalah
suatu konstruksi yang berguna untuk menghubungkan jalan yang terhalang oleh
suatu rintangan baik berupa sungai, rawa-rawa dan jurang.
Perhitungan konstruksi jembatan harus didukung oleh
teori-teori, rumus-rumus dan peraturan-peraturan dalam perencanaan. Dalam bab
ini akan diuraikan mengenai peraturan-peraturan standard jembatan di Indonesia dan
rumus-rumus untuk perencanaan jembatan rangka baja.
2.1 Standard Jembatan
Merencanakan suatu jembatan, baik ditinjau dari volume lalu lintas
maupun berat lalu lintas yang melewati jembatan tersebut, maka pihak Direktorat
Jenderal Bina Marga menggolongkan jembatan atas tiga kelas, yaitu :
1. Jembatan kelas A, lebar lantai
jembatan 7,00 meter dan 2 x 1,00 meter sebagai trotoir dengan beban 100 % dari
loading Sistem Bina Marga.
2. Jembatan kelas B, lebar jembatan
6,00 meter dan 2 x 0,50 meter sebagai trotoir dengan beban 70 % dari loading
Sistem Bina Marga.
3. Jembatan kelas C, lebar jembatan
4,50 meter dan 2 x 0,25 meter sebagai trotoir dengan beban 50 % dari loading
Sistem Bina Marga.
Berdasarkan
klasifikasi diatas, maka jembatan yang
penulis rencanakan termasuk ke dalam
jembatan kelas B, dengan lebar lantai kendaraan 6 meter, lebar trotoar 0,5
meter. Pembebanan diambil 70 % dari Loading Sistem Bina Marga.
2.2 Analisa Pembebanan
Berdasarkan pedoman perencanaan pembebanan jembatan jalan raya (PPPJJR
SKBI-1.3.28-1987), beban-beban yang bekerja pada sebuah konstruksi
jembatan adalah beban primer, beban sekunder dan beban khusus.
2.2.1
Kombinasi
Muatan
Tujuan dari kombinasi muatan adalah untuk memperoleh
tegangan yang maksimum standar dalam mendimensi rangka baja. Adapun kombinasi
muatan yang dimaksud, diperlihatkan ada tabel berikut ini, sebagai mana yang
tercantum dalam PPPJJR 1987, yaitu :
No
|
Kombinasi Pembebanan Dan Gaya
|
Tegangan Izin Keadaan Elastis (%)
|
1
|
M +
(H + K) + Ta + Tu
|
100%
|
2
|
M +
Ta + Ah + Gg + A + SR + Tm
|
125%
|
3
|
Kombinasi
(1) + Rm + Gg + A SR + Tm + S
|
140%
|
4
|
M +
Gh + Tag + Gg + Ahg + Tu
|
150%
|
5
|
M +
P1
|
130%
|
6
|
M +
(H + K) Ta + S + Tb
|
150%
|
Tabel T.2.1 Kombinasi Pembebanan
|
Dimana :
M = Beban mati
(H + K) = Beban hidup dengan kejut
Ta = Gaya tekan tanah
Tu = Gaya angkat
Ah = Gaya akibat aliran dan hanyutan
Gg = gaya gesekan pada tumpuan bergerak
A = Gaya angin
SR = Gaya akibat sudut dan rangkak
Rm = Gaya rem
Gh = Gaya horizontal ekivalen akibat gempa
Tag = Gaya
tekan tanah akibat gempa bumi
Ahg = Gaya
akibat aliran dan hanyutan pada saat gempa bumi
P1
= Gaya-gaya pada waktu
pelaksanaan
S = Gaya sentifugal
Tb = Gaya tumbuk
2.2.2 Beban Primer
Berdasarkan PPPJJR SKBI-1.3.28-1987, yang dimaksud
dengan beban primer adalah beban utama dalam perhitungan tegangan pada setiap
perencanaan jembatan. Beban itu meliputi :
a. Beban Mati
Beban mati adalah beban yang diakibatkan oleh berat sendiri dari
konstruksi dan segala unsur tambahan yang dianggap satu kesatuan tetap
dengannya. Berdasarkan Struyk dan Van Der Veen (1990), berat sendiri konstruksi
dapat dihitung dengan menggunakan rumus empiris, yaitu :
G = (20 + 3L) kg/m2 ........................................................................... (2.1)
Keterangan :
G = Berat sendiri
gelagar utama
L = Panjang bentang
jembatan
Gaya–gaya batang pada
gelagar utama akibat berat sendiri dihitung dengan menggunakan metode Cremona. Dasar
perhitungan ini merupakan segi banyak tertutup. Seperti yang diperlihatkan pada
gambar di bawah ini :
+S5
|
Gambar Diagram Cremona gaya batang
Sumber : Mekanika Teknik I, Oleh Heinz
Frick (1993)
|
-S1
|
-S3
|
7
|
D
|
C
|
+S6
|
-S1
|
6
|
5
|
4
|
3
|
RA
|
RA
|
-S2
|
2
|
1
|
(A)
|
B
|
E
|
A
|
+S7
|
-S3
|
-S2
|
RA
|
RB
|
RB
|
P
|
-S3
|
+S7
|
-S3
|
+S6
|
-S5
|
RB
|
+S4
|
+S4
|
-S2
|
(D)
|
(C)
|
(B)
|
Untuk perhitungan gaya batang
digunakan skala gambar dan untuk penentuan arah gaya dengan cara perjanjian tanda sebagai
berikut :
1. Batang disebut tekan
(-), apabila arah gaya
menuju titik sambung.
2. Batang disebut tarik
(+), apabila arah gaya
meninggalkan titik sambung.
b. Beban Hidup
Berdasarkan PPPJJR SKBI-1.3.28-1987, beban
hidup yaitu semua beban yang berasal dari kendaraan yang bergerak dan penjalan
kaki yang dianggap bekerja pada jembatan.
Gambar Ketentuan Beban
“D”
Sumber :
PPPJJR SKBI - 1987
|
½ P
|
½ P
|
P
|
q
|
½ q
|
½ q
|
4,0 m
|
“D”
|
“T”
|
Besarnya beban terbagi rata “q” dengan bentang 30< L < 60
meter adalah :
q = 2,2 t/m1
-
(L-30) t/m ............................................................. (2.2)
Beban hidup permeter lebar jembatan ditentukan dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut :
q =
................................................................................... (2.3)
P =
....................................................................................... (2.4)
Keterangan :
q = Beban terbagi rata
P = Beban garis
L = Panjang bentang
jembatan
Besarnya gaya batang akibat beban
hidup dihitung dengan menggunakan metode garis pengaruh. Metode garis pengaruh
adalah suatu cara untuk menghitung gaya
batang dengan beban P = 1 ton bekerja disepanjang jembatan, proses kerja garis
pengaruh diperlihatkan pada gambar 2.1c berikut ini :
Gambar Diagram Garis Pengaruh
Sumber : Mekanika Teknik 2, oleh Heinz Frick
|
Batang Atas
|
Batang Bawah
|
Batang Diagonal
|
Garis pengaruh
batang S1 diperoleh dengan cara meletakkan beban P = 1 ton dititik D
dengan memotong batang S1, S2 dan S3 diperoleh
:
MD
= 0
RA x (L – x1)
+ S1 x H = 0 RA
=
sehingga untuk batang atas diperoleh :
( - ) ............................................................................... (2.5a)
Batang S1
digambarkan dibawah titik D sebagai ordinat garis pengaruh (Y1).
Garis pengaruh S1 diperlihatkan pada gambar 2.1c pada halaman 10.
Ordinat garis pengaruh batang S2 diperoleh dengan cara yang sama,
yaitu dengan cara meletakkan beban P = 1 ton dititik E, sehingga untuk batang
bawah diperoleh :
S2 =
.................................................................................. (2.5b)
Beban P = 1 ton dianggap
bekerja pada titik buhul bawah, mengakibatkan garis pengaruh batang S2
terjadi pemotongan seperti diperlihatkan pada gambar 2.2 garis pengaruh batang
S3 diperoleh dengan cara memotong batang–batang S1, S2,
S3, tetapi beban P = 1 ton diletakkan dititik C dan D, maka beban
dititik C dan D diperoleh :
KV = 0
RA – P + S3 Sin a = 0, P
=1 ton
S3C =
....................................................................................... (2.5c)
KV = 0
RA - S3 Sin a = 0
SaD =
........................................................................................ (2.5c)
Garis pengaruh batang S3 diperlihatkan pada gambar 2.1c
Diagram garis pengaruh pada halaman 10.
c. Beban Kejut
Untuk menghitung
pengaruh-pengaruh getaran dan pengaruh dinamis lainnya, beban-beban yang timbul
akibat beban garis “P” harus dikalikan dengan koefisien kejut yang akan
memberikan hasil maksimum, sedangkan beban merata “q” tidak dikalikan dengan
koefisien kejut. Berdasarkan (PPPJJR SKBI 1.3.28 – 1987), koefisien
kejut diperhitungkan dengan rumus :
K =
.................................................................................... (2.6)
Keterangan :
K = Koefisien kejut
L = Panjang bentang
Jembatan (m)
2.2.3 Beban sekunder
Beban sekunder adalah beban sementara, yang dipengaruhi oleh beban
angin, pengaruh suhu dan gaya
rem. Beban ini meliputi :
a. Beban angin
Berdasarkan (PPPJJR SKBI 1.3.28 – 1987), tekanan angin
diperhitungkan 150 kg/m2 yang bekerja tegak lurus sumbu memanjang
jembatan. Bagian–bagian sisi jembatan yang terkena angin untuk jembatan rangka
diambil 30 % luas bidang sisi jembatan dan ditambah 15 % luas sisi lainnya.
Perencanaan sebuah jembatan tekanan angin diperhitungkan bekerja
pada tiga tempat, yaitu :
1. Tekanan angin pada
lantai kendaraan(Wr).
2.
Tekanan angin pada kendaraan (Wm), yang diperhitungkan bekerja setinggi
2 meter dari lantai kendaraan.
3. Tekanan angin pada
konstruksi jembatan (Wbr).
Akibat dari gaya–gaya
angin tersebut, maka akan menimbulkan gaya
vertikal yang berpengaruh terhadap bertambah besarnya gaya–gaya batang untuk
perencanaan suatu konstruksi jembatan. Gaya angin yang bekerja pada konstruksi
jembatan, diperlihatkan pada gambar dibawah ini :
Gambar Gaya
angin yang bekerja di bagian jembatan
Sumber : Jembatan, oleh Struyk dan Van Der Veen
|
Berdasarkan Struyk dan
Van Der Veen, besarnya gaya
reaksi yang timbul pada bagian tumpuan rangka jembatan dapat dihitung dengan
persamaan statis momen, yaitu :
K =
............................................. (2.7)
Keterangan :
K =
Gaya reaksi
yang timbul pada bagian tumpuan reaksi jembatan
Wbr = Tekanan angin pada rangka jembatan
Wm = Tekanan angin pada kendaraan
Wr = Tekanan angin pada lantai kendaraan
hbr, hm, hr =
Jarak masing – masing tekanan angin terhadap tumpuan rangka jembatan
Besarnya
gaya-gaya batang gelagar utama akibat tekanan angin diperoleh dengan cara
mengalikan faktor perbandingan reaksi tumpuan akibat tekanan angin dengan
reaksi tumpuan akibat berat sendiri.
F =
b. Gaya Akibat Pengaruh Suhu
Berdasarkan PPPJJR
SKBI-1.3.28-1987, besarnya tegangan akibat pengaruh suhu untuk
konstrusi baja diperhitungkan apabila terjadi perbedaan suhu 15 0C.
c. Gaya rem
Berdasarkan PPPJJR SKBI 1.3.28-1987, gaya rem dianggap bekerja horizontal dalam
arah sumbu jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,80 meter diatas permukaan
lantai kendaraan. Besarnya gaya
ini diperhitungkan 5 % dari beban “D” tanpa koefisien kejut.
2.2.4 Beban khusus
Beban khusus adalah beban yang tidak langsung membebani jembatan
tetapi hanya mempengaruhi bagian–bagian tertentu pada konstruksi jembatan.
Beban khusus ini
terdiri dari gaya tumbukan, gaya sentrifugal, dan gaya-gaya lain. Dalam
perhitungan ini beban khusus tidak ditinjau, karena perencanaan hanya dibatasi
pada bagian rangka utama jembatan saja.
2.3. Rumus-Rumus Untuk Perencanaan
Untuk merencanakan
rangka baja sebuah jembatan, diperlukan beberapa rumus yang mendukung dalam
perencanaan. Rumus-rumus yang digunakan dalam perencanaan akan dijelaskan pada
sub bab dibawah ini.
2.3.1 Sandaran (railing)
Menurut Potma dan De
Vries, sandaran akan menimbulkan momen akibat berat sendiri dan beban hidup.
Tegangan yang timbul pada sandaran adalah:
b =
<
b ……………………………………….….. (
2.9 )
Keterangan :
b = Tegangan lentur yang timbul
b = Tegangan lentur yang diizinkan
Mmaks =
Momen maksimum yang bekerja
W =
Momen tahanan profil
2.3.2 Gelagar Memanjang
Beban yang bekerja
pada gelagar memanjang terdiri dari berat sendiri, berat lembaran trapesium,
berat lantai beban hidup, beban gempa, beban angin dan beban rem.
2.3.3 Gelagar Melintang
Beban yang bekerja
pada gelagar melintang terdiri dari berat sendiri, berat lantai beban hidup,
beban angin dan beban rem. Untuk perencanaan
beban gelagar memanjang ini digunakan rumus persamaan (2.9) halaman 15.
2.3.4 Gelagar Utama
Gaya
yang bekerja pada gelagar utama jembatan rangka baja adalah gaya
tekan dan gaya
tarik.
a. Batang Tekan
Batang–batang tekan yang mengalami gaya tekan. Panjang batang dan tumpuan ujung
–ujung sangat mempengaruhi (1k).
Berdasarkan PPBBI (1984), jenis-jenis tumpuan pada batang
diperlihatkan pada gambar dibawah ini.
Gambar Jenis-jenis tumpuan pada batang
Sumber : PPPJJR SKBI 1.3.28 – 1987,
|
Adapun besarnya momen kelembanan dihitung dengan mempergunakan
persamaan :
I min = 0,483
x n x P x 1k ..................................................................... (2.10
)
Keterangan :
I min = Momen kelembaman
n = Faktor keamanan (3,5)
1k = Panjang batang tekuk
Rumus Euler ini
berlaku apabila 100 < l <
200, dimana angka kelangsingannya adalah
:
l =
............................................................................................ (2.11)
Keterangan :
imin =
Jari-jari kelembaman profil
l = Angka kelangsingan
Apabila 0 < l < 60,
maka digunakan persamaan Tetmayer, yaitu :
2.3.5 Ikatan Angin
Perhitungan ikatan
angin terdiri dari ikatan angin atas (Ka) dan ikatan angin bawah (Kb).
Berdasarkan PPJJR beban angin diambil
150 kg/cm2. Gaya-gaya
yang mempengaruhi ikatan angin atas dan ikatan angin bawah diperlihatkan pada
gambar G.2.2 di atas.
Besarnya ikatan
angin yang bekerja pada jembatan adalah :
a. Ikatan Angin Atas
Ka =
.......................................... (2.12)
b. Ikatan Angin Bawah
Kb = ( Wbr + Wm + Wr) – Ka............................................................. (2.13)
Keterangan :
Ka = Gaya
reaksi tumpuan ikatan angin atas
Kb = Gaya
reaksi tumpuan ikatan angin bawah
Wbr =
Tekanan angin pada rangka jembatan
Wm = Tekanan angin pada kenderaan
Wr = Tekanan angin pada lantai kendaraan
hbr = Jarak tekanan angin rangka terhadap
tumpuan rangka jembatan
hm = Jarak tekanan angin pada kendaraan terhadap tumpuan
rangka jembatan
h = Tinggi rangka jembatan
2.3.6 Perhitungan Alat
Sambung
Berdasarkan Darmawan
LW (1987) besarnya tekanan baut didasarkan pada perhitungan tampang
satu dan tampang dua dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Sambungan Tampang
Satu
Bila s/d > 0,393
kekuatan baut ditinjau terhadap geser dan bila s/d < 0,393 kekuatan baut
ditinjau terhadap desak. Kekuatan baut dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan :
Ngs = ¼ x
x d2 x
....................................................................... (2.14)
Nds = d x s x
................................................................................. (2.15)
b. Sambungan Tampang
Dua
Bila s/d > 0,785 kekuatan baut ditinjau terhadap geser dan bila
s/d < 0,785 kekuatan baut ditinjau terhadap desak. Kekuatan baut dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan :
Ngs = 2
(¼ x
x d2 x
)................................................................ (2.16)
Nds = 2 (d
x s x
tp)......................................................................... (2.17)
Keterangan :
Ngs = Kekuatan baut terhadap geser
Nds = Kekuatan baut terhadap desak
d = Diameter baut
s = Tebal plat buhul
= Tegangan geser
yang diizinkan (0,6 kg/cm)2
stp = Tegangan tumpuan yang
diizinkan (1,5 kg/cm)2
s = Tegangan dasar yang
diizinkan
Jumlah baut yang diperlukan dihitung dengan menggunakan persamaan :
n =
...................................................................... (2.18)
Keterangan :
P = Gaya
batang
n = Jumlah baut
2.3.7 Sambungan Gelagar
Utama dengan Gelagar melintang
Berdasarkan Porma dan De Vries (1984), gaya batang bekerja pada baut bagian atas
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
N1 =
........................................................................... (2.19)
Keterangan :
N1 = Gaya tarik baut (kg)
R = Gaya lintang
atau gaya
tumpuan
W = Jarak gaya
lintang ketumpuan
e = Jarak titik berat baut dengan tepi plat
penyambung
Gaya tarik baut diperlihatkan pada gambar dibawah ini :
Ganbar Sambungan gelagar melintang
dengan gelagar utama
Sumber : Jembatan Potma dan De Vries (1984)
|
a. Tegangan Tarik
str =
.................................................................... (2.20)
b. Tegangan Geser
=
.................................................................... (2.21)
Keterangan :
str = Tegangan tarik baut
N1 = Gaya
tarik baut
d = Diameter baut
R = Gaya
lintang atau gaya
tumpuan
= Tegangan geser
baut
n =
Jumlah baut
Pada gelagar
melintang, besarnya gaya
mendatar dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan :
H =
............................................................................... (2.22)
D =
......................................................................... (2.23)
Tegangan tumpuan yang timbul pada baut dapat dihitung dengan
persamaan :
stp =
................................................................................. (2.24)
Keterangan :
H = Gaya
tarik mendatar baut
t = Jarak antar baut tepi, atas dan bawah
D = Resultante gaya
V = Gaya
geser baut
stp = Tegangan tumpuan pada
baut
d = Diameter baut
s = Tebal plat badan gelagar melintang
2.3.8 Perhitungan Plat
Buhul
Gaya-gaya
yang bekerja pada plat buhul diperlihatkan pada gambar dibawah ini :
Ganbar
Sambungan pada plat buhul
Sumber
: Jembatan, Oleh Struyk
dan Van Der Veen (1990)
|
Berdasarkan Struyk dan
Van Der Veen (1990), bagian plat buhul yang Paling berbahaya adalah pada
penampang AB. Jika “R” gaya batang kiri dan “D” gaya batang diagonal maka penampang AB menerima gaya tarik (P). Besarnya gaya tarik tersebut
dihitung dengan persamaan :
P = T Cos
+ R.............................................................................. (2.25)
Momen yang timbul pada penampang plat AB dihitung dengan persamaan :
M = (P x e) ........................................................................................ (2.26)
Akibat dari gaya tarik dan momen,
maka timbul tegangan. Dimana tegangan yang timbul harus lebih kecil dari
tegangan izin. Tegangan – tegangan adalah sebagai berikut :
a. Tegangan tarik
str =
............................................................................ (2.27)
b. Tegangan geser
p =
<
s, dimana V = T sin
a................................................
(2.28)
Keterangan :
P =
Gaya
tarik pada plat buhul (kg)
D =
Gaya
batang diagonal (kg)
R =
Gaya
batang bawah
M =
Momen pada plat buhul
F =
Luas tampang plat buhul
e = Titik tangkap momen pada plat buhul
V = Gaya
geser pada plat buhul
str = Tegangan tarik yang timbul
p
= Tegangan geser yang timbul
2.3.9
Lendutan
Berdasarkan Hukum Hooke, perubahan panjang-panjang dapat
dihitung dengan persamaan :
DL =
................................................................................... (2.29)
Keterangan :
DL = Perubahan panjang batang
P = Gaya batang
L =
Panjang batang
E =
Modulus elastisitas baja
F =
Luas penampang profil
Lendutan yang terjadi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
Z = DL x a <
........................................................................ (2.30)
Keterangan :
Z =
Lendutan yang terjadi
a = Gaya
batang akibat beban P
= Lendutan yang diizinkan
2.3.10
Perhitungan Blok Ujung Sambungan
Gelagar Utama
Sambungan pada gelagar utama
terdiri dari sambungan batang atas, bawah dan batang diagonal. Sambungan
gelagar utama ini menggunakan sambungan tampang satu (tunggal) dengan tebal
pelat buhul 30 mm. Alat sambung yang digunakan adalah baut A-325 dengan
diameter 1 inchi, Fub = 825 Mpa, Fup = 370 Mpa
- Kuat geser perbaut ( tanpa ulir ) dengan bidang geser ( m ) satu buah
Ø Rn (geser tunggal ) = Ø (
0,5 x Fub ) x m x Ab .................................... (2.31)
- Kuat tumpu pelat
Ø Rn =
Ø ( 2,4
x Fup ) x d1 x tp
...................................... (2.32)
Maka kuat nominal satu baut
adalah yang terkecil.
- Sambungan Batang Atas , Bawah dan Diagonal.
Gaya maksimum yang bekerja pada batang
atas sebesar Pmax ton dan baut yang digunakan diameter 25,4 mm ( 1
inchi ).
Jumlah baut yang digunakan adalah
n =
.........................................................
(2.33)
Dimana :
s = 3.d = 3 x 2,54 =
7,62 cm = 8 cm
s1 = 2.d =
2 x 2,54 = 5,08 cm = 6 cm
Tarik murni
Ag = ½ x A …………………………………….
(2.34)
An = Ag – n.dt …………………………………….
(2.35)
Ae = U x An …………………………………….
(3.36)
Kuat leleh
fNn = fFy.Ag …………………………………….
(2.37)
Kuat fraktur
fNn = fFu.Ae ……………………………………..
(2.38)
Pengecekan Blok Ujung
Ø Geser murni
Av =
(2 x n) x S x Tf …………………………………….. (2.39)
fNn = f 0,6 Fu.Av …………………………………….. (2.40)
Ø Kombinasi geser + tarik
Avg = n x S
x Tf ……………………………………..
(2.41)
Anv = (n x
S – 2 x 5/2 x ǿ baut) x Tf ……………………………..
(2.42)
Agt = S x 2 x Tf …………………………….. (2.43)
Ant = (S1
x 2 – 2 x ½ x ǿ baut) x Tf ……………………………..
(2.44)
Geser fraktur:
Nn = 0,6
Fu.Anv ……………………………..
(2.45)
Tarik fraktur:
Nn =
Fu.Ant ……………………………..
(2.46)
Karena geser fraktur > tarik fraktur maka terjadi kombinasi geser
fraktur + tarik leleh sehingga:
Nn = Fy.
Agt + 0,6 Fu Anv ……………………………..
(2.47)
fNn = 0,75 x Nn ……………………………..
(2.48)
Dari hasil-hasil tersebut didapatkan:
…… kN (kuat leleh)
fNn …….. kN (kuat fraktur)
……. kN
(geser murni, blok ujung)
……. kN
(kombinasi blok ujung)
Diambil fNn untuk
2 flens (fNn
=fNn x 2)
fNn > Nu, maka profil yang digunakan (boros).
fNn < Nu, maka profil yang digunakan (tidak aman).
Jadi kegagalan pada blok ujung terjadi karena:
Jarak antar baut = S/ f baut
diameter lubang baut
Konsep SNI mensyaratkan jarak antar baut > 3 kali diameter baut
No comments:
Post a Comment