Tuesday, February 5, 2019

Makalah Tentang Belajar Menurut Pandangan Konstruktivisme Lengkap


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Dengan perkembangan zaman di dunia pendidikan yang terus berubah dengan signifikan sehingga banyak merubah pola pikir pendidik, dari pola pikir yang awam dan kaku menjadi lebih modern. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam kemajuan pendidikan di Indonesia. Menyikapi hal tersebut pakar-pakar pendidikan mengkritisi dengan cara mengungkapkan dan teori pendidikan yang sebenarnya untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesungguhnya.
Tujuan pendidikan adalah menciptakan seseorang yang berkwalitas dan berkarakter sehingga memiliki pandangan yang luas kedepan untuk mencapai suatu cita- cita yang di harapkan dan mampu beradaptasi secara cepat dan tepat di dalam berbagai lingkungan. Karena pendidikan itu sendiri memotivasi diri kita untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan.
Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran. Belajar adalah sebuah proses yang terjadi pada manusia dengan berpikir, merasa, dan bergerak untuk memahami setiap kenyataan yang diinginkannya untuk menghasilkan sebuah perilaku, pengetahuan, atau teknologi atau apapun yang berupa karya dan karsa manusia tersebut. Belajar berarti sebuah pembaharuan menuju pengembangan diri individu agar kehidupannya bisa lebih baik dari sebelumnya. Belajar pula bisa berarti adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi seorang manusia dengan lingkungan tersebut.
Berpijak dari pandangan itu Konstruktivisme berkembang. Dasarnya pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi sedikit. Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam pikiran manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktikkan dalam kaedah pengajaran dan pembelajaran di peringkat sekolah, maktab dan universitas tetapi tidak begitu kentara dan tidak ditekankan. Menurut paham dari aliran konstruktivisme, ilmu pengetahuan sekolah tidak boleh dipindahkan dari guru kepada siswa/anak didik dalam bentuk yang serba sempurna. Murid perlu diberi binaan tentang pengetahuan menurut pengalaman masing – masing.
Pembelajaran dalam konteks Konstruktivisme merupakan hasil dari usaha murid itu sendiri dan guru tidak boleh belajar untuk murid sesuai dengan prinsip Student centered bukan teacher centered. Blok binaan asas bagi ilmu pengetahuan sekolah ialah satu skema yaitu suatu aktifitas mental yang digunakan oleh murid sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan dalam proses pemikiran anak. Pikiran murid tidak akan menghadapi suatu realitas yang berwujud secara terasing dalam lingkungan sekitar.Kenyataan yang diketahui murid adalah realitas yang dia bina sendiri. Murid sebenarnya telah mempunyai satu set ide dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap kelanjutan pola pengetahuan dan pemikiran mereka.
Untuk membantu murid membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus mengambil kira struktur kognitif yang sedia ada pada mereka. Apabila istilah baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian dari pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina. Hal inilah yang biasa dinamakan dengan konstruktivisme.

1.2              Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan dalam penulisan makalah ini ialah :
1.      Apa pengertian belajar menurut pandangan konstruktivisme?
2.      Siapa saja tokoh pengikut aliran teori belajar konstruktivisme?
3.      Apa contoh kasus belajar yang berpijak pada teori belajar konstruktivisme?
4.      Apa bentuk-bentuk pembelajaran pada teori belajar konstruktivisme?

1.3              Tujuan
Berdasarkan rumusan di atas, maka tujuan penulisan makalah ini ialah :
1.      Untuk mengetahui pengertian belajar menurut pandangan konstruktivisme
2.      Untuk mengetahui tokoh pengikut aliran teori belajar konstruktivisme
3.      Untuk mengetahui contoh kasus belajar yang berpijak pada teori belajar konstruktivisme
4.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk pembelajaran pada teori belajar konstruktivisme


BAB II
PEMBAHASAN

2.1              Pengertian Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang dikemukakan oleh Giambatista Vico (1710). Vico adalah seorang sejarawan yang berkebangsaan Italia yang mengungkapkan filsafatnya dengan menyatakan bahwa, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Vico selanjutnya menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu” (Suparno, 1997:24).
Schunk (2012:322) menyatakan bahwa konstruktivisme bukan suatu teori tetapi sebuah epistemology atau penjelasan filosofis tentang sifat pembelajaran. Selain Vico, ahli lain yang data dikategorikan memiliki aliran kostruktif adalah Jean Piaget dan Vygotsky. Pandangan konstruktivisme menempatkan siswa sebagai pusat atau pelaku utama dalam pembelajaran, hal ini selaras dengan pemikiran Bidiningsih (2005:58) bahwa belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan yang dilakukan oleh peserta didik. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Siswa dianggap sudah mempunyai kemampuan awal yang akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh karena itu, konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum, seperti di bawah ini:
a.       Siswa aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
b.      Dalam konteks pembelajaran, siswa seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
c.       Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh siswa sendiri melalui proses saling memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
d.      Unsur penting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya sudah ada.
e.       Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utam. Faktor ini berlaku apabila seorang siswa menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
f.       Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman siswa untuk menarik minat belajar siswa.
Para ahli konstruktivisme memandang bahwa belajar sebagai hasil dari konstruksi mental. Para siswa belajar dengan mencocokkan informasi baru yang mereka peroleh bersama-sama dengan apa yang telah mereka ketahui. Siswa akan dapat belajar dengan baik jika mereka mampu mengaktifkan konstruk pemahaman mereka sendiri.
Menurut para ahli konstruktivisme, belajaran juga dipengaruhi oleh konteks, keyakinan, dan sikap siswa. Dalam proses pembelajaran para siswa didorong untuk menggali dan menemukan pemecahan masalah mereka sendiri serta mencoba untuk merumuskan gagasan-gagasan dan hipotesis. Mereka diberikan peluang dan kesempatan yang luas untuk membangun pengetahauan awal mereka.
Asumsi utama konstruktisme adalah manusia merupakan siswa aktif yang mengambangkan pengetahuan bagi diri mereka sendiri (Schunk, 2012:232; Santrock, 2013:389). Sebagai sebuah paradigma pembelajaran, konstruktivisme bukanlah sebuah sudut pandang tunggal, ia memiliki perspektif yang berbeda. Pertama, konstruktivisme eksogenus yang mengacu pada pemikiran bahwa penguasaan pengetahuan merepresentasikan sebuat konstruksi ulang dari struktur-struktur yang berada dalam dunia eksternal. Pengetahuan dianggap akurat jika mencerminkan realitas. Teori pengolahan informasi mencerminkan pandangan ini. Kedua, konstruktivisme endogenus, menekankan pada koordinasi tindakan-tindakan kognitif. Struktur mental diciptakan dari struktur yang sebelumnya, bukan secara langsung dari informasi lingkungan, pengetahuan berkembang melalui aktivitas kognitif dari abstraksi dan mengikuti sebuah rangkaian yang dapat di prediksi secara umum. Ketiga, konstruktivisme kognitif yang berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh dari interaksi antara orang-orang dan lingkungan mereka.
Dalam perkembangannya terdapat pemikiran dalam teori konstruktivisme ini, namun semua berdasarkan pada asumsi dasar yang sama tentang belajar. Dan teori konstruktivisme yang utama dikenal dengan istilah konstruktivisme sosial (Social Constructivism) dan konstruktivisme kognitif (Cognitive Constructivism).

2.2              Tokoh Pengikut Aliran Teori Belajar Konstruktivisme
2.2.1        Teori Belajar Kontruktivisme menurut Piaget
Schunk (2012:330) mengatakan bahwa meskipun tidak lagi menjadi teori perkembangan kognitif yang paling diakui, teori Piaget tetap penting dan memiliki beberapa implikasi yang bermanfaat bagi pembelajaran. Pertama, pandangan Piaget tentang ekuilibrasi. Menurut Piaget, perkembangan kognitif tergantung pada 4 faktor yakni pertumbuhan biologis, pengalaman dengan lingkungan fisik, pengalaman dengan lingkungan sosial dan ekuilibrasi.
Teori piaget berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna membangun struktur kognitif atau peta mentalnya yang diistilahkan “schema/skema” atau konsep jejaring untk memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan di sekeilingnya(Suyono dan Hariyanto:2011:107). Sedangkan menurut piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti sebuah kota-kotak yag masing mempunyai makna yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam proses belajar terjadi dua proses, yaitu proses organisasi informasi dan adaptasi (Cahyo:2013: 37).
Proses organisasi adalah proses ketika manusia menghubungkan informasi yang diterimanya dengan struktur- struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau sudah ada sebelumnya dalam otak. Sedangkan proses adaptasi adalah proses yang berisi dua kegiatan. Pertama, menghubungkan atau mengintergrasi pengetahuan yang diterima manusia atau disebut asimilasi. Kedua, mengubah struktur pengetahuan baru sehingga akan terjadi kesinambungan (equilibrium).
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Piaget, adalah sebagai berikut (Cahyo:2013):


a.                  Skemata
Piaget mengatakan bahwa schemata orang dewasa mulai dari schemata anak melaui proses adaptasi sampai pada penataan dan organisasi. Makin mampu seseorang membedakan satu stimulus dengan stimulus lainnya, makin banyak schemata yang dimilikinya. Dengan demikian, schemata adalah struktur organisasi kognitif yang selalu berkembang dan berubah. Proses yang menyebabkan adanya perubahan tersebut adalah asimilasi dan akomodasi
b.                  Asimilasi
Asimilasi merupakan proses kognitif dan penyerapan baru ketika seseorang memadukan stimulus atau presepsi ke dalam schemata atau perilaku yang sudah ada. Pada dasarnya, asimilasi tidak mengubah schemata, tapi mempengaruhi atau memungkinkan pertumbuhan schemata. Asimilasi terjadi secara kontinu, berlangsung terus-menerus dalam perkembanfan intelektual anak.
c.                  Akomodasi
Akomodasi adalah proses struktur kognitif yang berlangsung sesuai pengalaman baru. Proses tersebut menghasilkan terbentuknya schemata baru dan berubshnya schemata lama.
d.                 Keseimbangan
Dengan adanya keseimbangan, efisiensi interaksi antara anak yang sedang berkambang dengan lingkungannya dapat tercapai dan terjamin. Piaget membagi fase perkembangan manusia ke dalam empat perkembangan yang tertera dalam table di bawah ini:
Tahapan
Usia
Gambaran
Sensorimotor
0-2
Bayi bergerak dari tindakan reflek instingtif pada saat lahir sampai permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia melalui pengoorgadinasian pengalaman-pengalaman sensor dengan tindakan fisik
Operational
2-7
Anak mulai merepresentasikan dunia denan kata-kata dan gambar-gambar.
Concerte operational
7-11
Pada saat ini anak dapat berpikir secara logis mengenai peristiwa-peristiwa yang konkret
Formal operational
11-15
Anak remaja berpikir dengan cara yang lebih abstrak dan logis. Pemikiran lebih idealistik

2.2.2        Teori konstruktivisme social dari Lev Semenovi Vygotsky
Kontribusi Vygotsky yang paling penting terhadap pemikiran psikologi adalh fokus perhatiannya pada aktivitas yang bermakna sosial sebagai sebuah pengaruh penting terhadap pikiran sadar. Vigotsky menonjolkan pikiran bahwa pembelajaran dan perkembangan tidak dapat dipisahkan dari konteksnya. Cara siswa berinteraksi dengan dunia, dengan orang, objek dan institusi di dalamnya.
Vygotsky sangat menekatkan faktor interpersonal dan menganggap bahwa lingkungan sosial sangat penting bagi pembelajaran dan berfikir bahwa interaksi sosial mengubah atau mentransformasi pengalaman-pengalaman belajar. Aktifitas sosial adalah sebuah fenomena yang membantu menjelaskan perubahan-perubahan dalam pikiran sadar dalam membentuk teori psikologis yang menyatukan perilaku dan pikiran.
Pandangan Vygotsky merupakan bentuk konstruktivisme dialektikal (kognitif) karena menyoroti interaksi antara orang-orang dan lingkungan. Lingkungan sosial disebut mediasi yang merupakan mekanisme pokok dalam perkembangan dan pembelajaran dengan penjelasan bahwa semua proses psikologis manusia (proses mental yang lebih tinggi) dimensi oleh alat-alat psikologi seperti bahasa, tanda-tanda, dan simbol-simbol. Orang dewasa mengajarkan alat-alat ini kepada anak-anak dalam aktivitas bersama (kerja sama). Setelah anak-anak menginternalisasi alat-alat tersebut, alat-alat ini bertindak sebagai mediator untuk proses psikologi anak-anak lebih lanjut (Karpov & Haywood, 1998 dalam Schunk 2012:340).
Salah satu konsep penting dari teori sosiokultural Vigotsky adalah Zone of Proximal Development (ZPD) yang didefinisikan sebagai jarak antara level perkembangan aktual yang ditentukan melalui pemecahan masalah dengan bantuan orang dewasa atau melalui kerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu.

2.3              Kasus Belajar Yang Berpijak Pada Teori Belajar Konstruktivisme
Pembelajaran di kelas dilihat sebagai proses konstruksi pengetahuan oleh siswa. Jadi, pada teori belajar ini mengharuskan siswa bersikap aktif untuk mengembangkan pengetahuannya bukan pembelajar atau orang lain. Siswalah yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Dalam proses ini siswa mengembangkan gagasan atau konsep baru berdasarkan analisis dan pemikiran ulang terhadap pengetahuan yang diperoleh pada masa lalu dan masa kini. Selain itu, kreativitas dan keaktifan siswa akan sangat membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Dengan demikian, pembelajaran dengan menggunakan teori konstruktivisme ini perlu disusun berorientasi lebih kepada kebutuhan dan kondisi siswa, dengan memicu rasa ingin tahu dan keterampilan memecahkan masalah melalui inquiri learning, reflective learning dan problem-based learning.
Hakikat pembelajaran konstruktivisme oleh Brooks dan Brooks dalam Degeng mengatakan baha pengetahuan adalah non-obyektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Contoh tersebut menunjukkan bahwa pemahaman seseorang terhadap suatu konsep dapat berkembang dan berubah. Perkembangan dan perubahan terhadap pemahaman konsep terjadi sesuai pengalaman dan interaksi dengan pandangan lain yang ditemukan kemudian.



2.4              Metode Mengajar Dalam Pendekatan Konstruktivisme
a.              Tanya Jawab (questioning)
Bertanya (questioning) merupakan strategi atau metode utama lainya dalam pendekatan konstruktivisme untuk mengukur sejauh mana siswa dapat mengenali konsep-konsep pada topik pelajaran yang akan dipelajari. Bertanya dalam sebuah pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dalam pembelajaran yang berbasis inquiry, kegiatan bertanya merupakan bagian yang sangat penting untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui, serta mengarahkan perhatian pada hal-hal yang belum diketahuinya.
b.             Penyelidikan/Menemukan (Inquiry)
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan sebagai hasil penyelidikan sampai kepada menemukan sendiri bukan hasil mengingat seperangkat fakta, guru harus berusaha selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan untuk berbagai materi yang diajarkan. Metode inkuiri dalam proses pembelajaran lebih bersifat student centered. Dalam pembelajaran seorang guru hendaknya dapat mengajarkan bagaimana siswa dapat membelajarkan dirinya, karena siswa yang lebih banyak melakukan kegiatan pembelajaran. Belajar dengan metode inkuiri pada dasarnya adalah cara siswa untuk menemukan sendiri pengetahuannya. Penggunaan metode inkuiri oleh guru akan mengurangi aktivitas guru di kelas dalam arti tidak terlalu banyak bicara, karena aktivitas lebih banyak dilakukan oleh siswa. Guru tidak lagi berperan sebagai pemberi pengetahuan melainkan menyiapkan situasi yang menggiring siswa untuk bertanya, mengamati, menemukan fakta, konsep, menganalisis data dan mengusahakan kemungkinan-kemungkinan jawaban dari suatu masalah. Inkuiri memberikan perhatian dalam mendorong, siswa menyelidiki secara independen, dalam suatu cara yang teratur. Melalui Inkuiri, siswa bertanya memperoleh dan mengolah data secara logis sehingga mereka dapat mengembangkan strategi intelektual secara umum yang mereka gunakan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Belajar dengan melakukan inkuiri pada dasarnya adalah cara siswa untuk ”menemukan sendiri”, dan karena itu Bruner menyebutnya sebagai discovery. Strategi mengajar dengan model inkuiri ini menempatkan siswa tidak hanya dalam posisi mendengarkan, akan tetapi siswa melibatkannya dalam pencarian intelektual yang aktif, pencarian dengan memanipulasi data yang dikumpulkan berdasarkan pengamatan dan pengamalannya sendiri, atau oleh orang lain, untuk dipahami dan dibermaknakan (Wiriaatmadja, 2002: 137).
Metode inkuiri menekankan pada permasalahan bagaimana siswa menggunakan sumber belajar. Sumber belajar dipakai sebagai upaya untuk mengidentifikasi masalah dan merumuskan masalah. Peranan siswa dalam pembelajaran inkuiri adalah sebagai pengambil inisiatif atau prakarsa dalam menemukan sesuatu untuk mereka sendiri. Dalam hal ini siswa harus aktif menggunakan cara belajarnya sendiri, sehingga mengarah pada pengembangan kemampuan berpikir melalui bimbingan yang diberikan oleh guru. Permasalahan dalam inkuiri berkaitan dengan sumber belajar adalah bukan pada dari mana sumbernya, tetapi lebih menekankan pada bagaimana siswa dan guru memanfaatkan sumber tersebut dalam proses pembelajaran. Jadi sumber belajar harus dimanfaatkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan mengidentifikasi masalah melalui pertanyaan-pertanyaan yang terarah pada penjelasan masalah.
Berikut adalah langkah-langkah inkuiri menurut beberapa ahli diantaranya adalah; Hasan, Said Hamid (1996: 14), langkah-langkah inkuiri adalah :
1) Perumusan masalah,
2) pengembangan hipotesis,
3) pengumpulan data,
4) pengolahan data,
5) pengujian hipotesis, dan
6) penarikan kesimpulan.

Menurut Dahlan (1990: 169) langkah-langkah inkuiri adalah
1) orientasi,
2) hipotesis,
3) definisi,
4) eksplorasi,
5) pembuktian,
6) generalisasi.

Sedangkan menurut Joyce & Weil (2000: 473-475) mengemukakan langkah-langkah inkuiri sebagai berikut :
1) penyajian masalah,
2) pengumpulan data dan verifikasi data,
3) mengadakan eksperimen dan pengumpulan data,
4) merumuskan penjelasan,
5) mengadakan analisis tentang proses inkuiri.

Menurut Nurhadi (2003: 13): adalah
                                             i.      Merumuskan masalah,
                                           ii.      Mengamati dan melakukan observasi,
                                         iii.      Menganalisis dan meyajikan hasil tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya,
                                         iv.      Mengkomunikasikannya atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain.


c.             Komunitas Belajar (Learning Community)
Komunitas belajar atau belajar kelompok adalah pembelajaran dengan bekerjanya sejumlah siswa yang sudah terbagi kedalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan tertentu secara bersama-sama (Moejiono,1991/1992: 60). Pengembangan pembelajaran dalam kelompok dapat menumbuhkan suasana memelihara disiplin diri, dan kesepakatan berperilaku. Melalui kegiatan kelompok terjadi kerja sama antar siswa, juga dengan guru yang bersifat terbuka. Belajar berkelompok dapat dijadikan arena persaingan sehat, dan dapat pula meningkatkan motivasi belajar para anggota kelompok.


BAB III
PENUTUP

3.1              Simpulan
Belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan yang dilakukan oleh peserta didik. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Menurut para ahli konstruktivisme, belajaran juga dipengaruhi oleh konteks, keyakinan, dan sikap siswa. Dalam proses pembelajaran para siswa didorong untuk menggali dan menemukan pemecahan masalah mereka sendiri serta mencoba untuk merumuskan gagasan-gagasan dan hipotesis. Mereka diberikan peluang dan kesempatan yang luas untuk membangun pengetahauan awal mereka. Dalam perkembangannya terdapat pemikiran dalam teori konstruktivisme ini, namun semua berdasarkan pada asumsi dasar yang sama tentang belajar. Dan teori konstruktivisme yang utama dikenal dengan istilah konstruktivisme sosial (Social Constructivism) dan konstruktivisme kognitif (Cognitive Constructivism).

3.2              Saran
Kita sebagai calon guru harusnya mampu mendidik para peserta didik kita dengan baik, dengan metode serta teori yang tepat sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan baik. Oleh karena itu pelajarilah teori-teori pembelajaran yang ada agar kita mampu menemukan kecocokan dalam metode mengajar yang tepat.
  
DAFTAR PUSTAKA

Fathurrohman Muhammad. 2017. Belajar dan Pembelajaran Modern: Konsep Dasar, Inovasi dan Teori Pembelajaran. Yogyakarta: Grarudhawaca

Nai Firmina Angela. 2017. Teori Belajar dan Pembelajaran Implementasi Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP, SMA dan SMK. Yogyakarta: Deepublish Publisher

Susanto Ahmad. 2014. Pengembangan Pembelajaran IPS. Jakarta: Prenadamedia Group

Suyanto, Jihad Asep. 2015. Menjadi Guru Profesional: Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Global. Jakarta: Erlangga.

No comments:

Proposal Pembangunan Laboratorium SMP yang Benar

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Guna mendukung tercapainya Standar Pendidikan Nasional serta terwujudnya Program Wajar ...