BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dengan
perkembangan zaman di dunia pendidikan yang terus berubah dengan signifikan
sehingga banyak merubah pola pikir pendidik, dari pola pikir yang awam dan kaku
menjadi lebih modern. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam kemajuan pendidikan
di Indonesia. Menyikapi hal tersebut pakar-pakar pendidikan mengkritisi dengan
cara mengungkapkan dan teori pendidikan yang sebenarnya untuk mencapai tujuan
pendidikan yang sesungguhnya.
Tujuan
pendidikan adalah menciptakan seseorang yang berkwalitas dan berkarakter
sehingga memiliki pandangan yang luas kedepan untuk mencapai suatu cita- cita
yang di harapkan dan mampu beradaptasi secara cepat dan tepat di dalam berbagai
lingkungan. Karena pendidikan itu sendiri memotivasi diri kita untuk lebih baik
dalam segala aspek kehidupan.
Pendidikan
bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak
orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan
harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran. Belajar adalah sebuah
proses yang terjadi pada manusia dengan berpikir, merasa, dan bergerak untuk
memahami setiap kenyataan yang diinginkannya untuk menghasilkan sebuah
perilaku, pengetahuan, atau teknologi atau apapun yang berupa karya dan karsa
manusia tersebut. Belajar berarti sebuah pembaharuan menuju pengembangan diri
individu agar kehidupannya bisa lebih baik dari sebelumnya. Belajar pula bisa
berarti adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi seorang manusia dengan
lingkungan tersebut.
Berpijak
dari pandangan itu Konstruktivisme berkembang. Dasarnya pengetahuan dan
keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi
sedikit. Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan
bagaimana pengetahuan disusun dalam pikiran manusia. Unsur-unsur
konstruktivisme telah lama dipraktikkan dalam kaedah pengajaran dan
pembelajaran di peringkat sekolah, maktab dan universitas tetapi tidak begitu
kentara dan tidak ditekankan. Menurut paham dari aliran konstruktivisme, ilmu
pengetahuan sekolah tidak boleh dipindahkan dari guru kepada siswa/anak didik
dalam bentuk yang serba sempurna. Murid perlu diberi binaan tentang pengetahuan
menurut pengalaman masing – masing.
Pembelajaran
dalam konteks Konstruktivisme merupakan hasil dari usaha murid itu sendiri dan
guru tidak boleh belajar untuk murid sesuai dengan prinsip Student centered
bukan teacher centered. Blok binaan asas bagi ilmu pengetahuan sekolah ialah
satu skema yaitu suatu aktifitas mental yang digunakan oleh murid sebagai bahan
mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan dalam proses pemikiran anak.
Pikiran murid tidak akan menghadapi suatu realitas yang berwujud secara
terasing dalam lingkungan sekitar.Kenyataan yang diketahui murid adalah
realitas yang dia bina sendiri. Murid sebenarnya telah mempunyai satu set ide
dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap kelanjutan pola
pengetahuan dan pemikiran mereka.
Untuk
membantu murid membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus mengambil kira
struktur kognitif yang sedia ada pada mereka. Apabila istilah baru telah
disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian dari pegangan kuat mereka,
barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina. Hal
inilah yang biasa dinamakan dengan konstruktivisme.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan dalam penulisan
makalah ini ialah :
1.
Apa
pengertian belajar menurut pandangan konstruktivisme?
2.
Siapa
saja tokoh pengikut aliran teori belajar konstruktivisme?
3.
Apa
contoh kasus belajar yang berpijak pada teori belajar konstruktivisme?
4.
Apa
bentuk-bentuk pembelajaran pada teori belajar konstruktivisme?
1.3
Tujuan
Berdasarkan rumusan di atas, maka tujuan penulisan makalah ini
ialah :
1.
Untuk
mengetahui pengertian belajar menurut pandangan konstruktivisme
2.
Untuk
mengetahui tokoh pengikut aliran teori belajar konstruktivisme
3.
Untuk
mengetahui contoh kasus belajar yang berpijak pada teori belajar
konstruktivisme
4.
Untuk
mengetahui bentuk-bentuk pembelajaran pada teori belajar konstruktivisme
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Konstruktivisme
Konstruktivisme
merupakan pandangan filsafat yang dikemukakan oleh Giambatista Vico (1710).
Vico adalah seorang sejarawan yang berkebangsaan Italia yang mengungkapkan
filsafatnya dengan menyatakan bahwa, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan
manusia adalah tuan dari ciptaan.” Vico selanjutnya menjelaskan bahwa
“mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu” (Suparno, 1997:24).
Schunk
(2012:322) menyatakan bahwa konstruktivisme bukan suatu teori tetapi sebuah
epistemology atau penjelasan filosofis tentang sifat pembelajaran. Selain Vico,
ahli lain yang data dikategorikan memiliki aliran kostruktif adalah Jean Piaget
dan Vygotsky. Pandangan konstruktivisme menempatkan siswa sebagai pusat atau
pelaku utama dalam pembelajaran, hal ini selaras dengan pemikiran Bidiningsih
(2005:58) bahwa belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan yang dilakukan
oleh peserta didik. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun
konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Siswa dianggap
sudah mempunyai kemampuan awal yang akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi
pengetahuan yang baru. Oleh karena itu, konstruktivisme mempunyai beberapa
konsep umum, seperti di bawah ini:
a.
Siswa
aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
b.
Dalam
konteks pembelajaran, siswa seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
c.
Pentingnya
membina pengetahuan secara aktif oleh siswa sendiri melalui proses saling
memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
d.
Unsur
penting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara
aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya sudah ada.
e.
Ketidakseimbangan
merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utam. Faktor ini berlaku apabila
seorang siswa menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan
pengetahuan ilmiah.
f.
Bahan
pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman siswa
untuk menarik minat belajar siswa.
Para
ahli konstruktivisme memandang bahwa belajar sebagai hasil dari konstruksi
mental. Para siswa belajar dengan mencocokkan informasi baru yang mereka
peroleh bersama-sama dengan apa yang telah mereka ketahui. Siswa akan dapat
belajar dengan baik jika mereka mampu mengaktifkan konstruk pemahaman mereka
sendiri.
Menurut
para ahli konstruktivisme, belajaran juga dipengaruhi oleh konteks, keyakinan,
dan sikap siswa. Dalam proses pembelajaran para siswa didorong untuk menggali
dan menemukan pemecahan masalah mereka sendiri serta mencoba untuk merumuskan
gagasan-gagasan dan hipotesis. Mereka diberikan peluang dan kesempatan yang
luas untuk membangun pengetahauan awal mereka.
Asumsi
utama konstruktisme adalah manusia merupakan siswa aktif yang mengambangkan
pengetahuan bagi diri mereka sendiri (Schunk, 2012:232; Santrock, 2013:389).
Sebagai sebuah paradigma pembelajaran, konstruktivisme bukanlah sebuah sudut
pandang tunggal, ia memiliki perspektif yang berbeda. Pertama, konstruktivisme
eksogenus yang mengacu pada pemikiran bahwa penguasaan pengetahuan
merepresentasikan sebuat konstruksi ulang dari struktur-struktur yang berada
dalam dunia eksternal. Pengetahuan dianggap akurat jika mencerminkan realitas.
Teori pengolahan informasi mencerminkan pandangan ini. Kedua, konstruktivisme
endogenus, menekankan pada koordinasi tindakan-tindakan kognitif. Struktur
mental diciptakan dari struktur yang sebelumnya, bukan secara langsung dari
informasi lingkungan, pengetahuan berkembang melalui aktivitas kognitif dari
abstraksi dan mengikuti sebuah rangkaian yang dapat di prediksi secara umum.
Ketiga, konstruktivisme kognitif yang berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh
dari interaksi antara orang-orang dan lingkungan mereka.
Dalam
perkembangannya terdapat pemikiran dalam teori konstruktivisme ini, namun semua
berdasarkan pada asumsi dasar yang sama tentang belajar. Dan teori
konstruktivisme yang utama dikenal dengan istilah konstruktivisme sosial (Social
Constructivism) dan konstruktivisme kognitif (Cognitive Constructivism).
2.2
Tokoh Pengikut Aliran Teori Belajar Konstruktivisme
2.2.1
Teori
Belajar Kontruktivisme menurut Piaget
Schunk
(2012:330) mengatakan bahwa meskipun tidak lagi menjadi teori perkembangan kognitif
yang paling diakui, teori Piaget tetap penting dan memiliki beberapa implikasi
yang bermanfaat bagi pembelajaran. Pertama, pandangan Piaget tentang
ekuilibrasi. Menurut Piaget, perkembangan kognitif tergantung pada 4 faktor
yakni pertumbuhan biologis, pengalaman dengan lingkungan fisik, pengalaman
dengan lingkungan sosial dan ekuilibrasi.
Teori
piaget berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna membangun struktur
kognitif atau peta mentalnya yang diistilahkan “schema/skema” atau konsep jejaring
untk memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan di
sekeilingnya(Suyono dan Hariyanto:2011:107). Sedangkan menurut piaget, manusia
memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti sebuah kota-kotak yag
masing mempunyai makna yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam proses belajar
terjadi dua proses, yaitu proses organisasi informasi dan adaptasi (Cahyo:2013:
37).
Proses
organisasi adalah proses ketika manusia menghubungkan informasi yang
diterimanya dengan struktur- struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau
sudah ada sebelumnya dalam otak. Sedangkan proses adaptasi adalah proses yang
berisi dua kegiatan. Pertama, menghubungkan atau mengintergrasi pengetahuan
yang diterima manusia atau disebut asimilasi. Kedua, mengubah struktur pengetahuan
baru sehingga akan terjadi kesinambungan (equilibrium).
Proses
mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Piaget, adalah sebagai berikut
(Cahyo:2013):
a.
Skemata
Piaget
mengatakan bahwa schemata orang dewasa mulai dari schemata anak melaui proses
adaptasi sampai pada penataan dan organisasi. Makin mampu seseorang membedakan
satu stimulus dengan stimulus lainnya, makin banyak schemata yang dimilikinya.
Dengan demikian, schemata adalah struktur organisasi kognitif yang selalu
berkembang dan berubah. Proses yang menyebabkan adanya perubahan tersebut
adalah asimilasi dan akomodasi
b.
Asimilasi
Asimilasi
merupakan proses kognitif dan penyerapan baru ketika seseorang memadukan
stimulus atau presepsi ke dalam schemata atau perilaku yang sudah ada. Pada
dasarnya, asimilasi tidak mengubah schemata, tapi mempengaruhi atau
memungkinkan pertumbuhan schemata. Asimilasi terjadi secara kontinu,
berlangsung terus-menerus dalam perkembanfan intelektual anak.
c.
Akomodasi
Akomodasi
adalah proses struktur kognitif yang berlangsung sesuai pengalaman baru. Proses
tersebut menghasilkan terbentuknya schemata baru dan berubshnya schemata lama.
d.
Keseimbangan
Dengan
adanya keseimbangan, efisiensi interaksi antara anak yang sedang berkambang
dengan lingkungannya dapat tercapai dan terjamin. Piaget membagi fase perkembangan manusia ke dalam
empat perkembangan yang tertera dalam table di bawah ini:
|
Tahapan
|
Usia
|
Gambaran
|
|
Sensorimotor
|
0-2
|
Bayi bergerak dari tindakan reflek instingtif pada
saat lahir sampai permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun suatu
pemahaman tentang dunia melalui pengoorgadinasian pengalaman-pengalaman
sensor dengan tindakan fisik
|
|
Operational
|
2-7
|
Anak mulai merepresentasikan dunia denan kata-kata
dan gambar-gambar.
|
|
Concerte operational
|
7-11
|
Pada saat ini anak dapat berpikir secara logis
mengenai peristiwa-peristiwa yang konkret
|
|
Formal operational
|
11-15
|
Anak remaja berpikir dengan cara yang lebih abstrak
dan logis. Pemikiran lebih idealistik
|
2.2.2
Teori
konstruktivisme social dari Lev Semenovi Vygotsky
Kontribusi
Vygotsky yang paling penting terhadap pemikiran psikologi adalh fokus
perhatiannya pada aktivitas yang bermakna sosial sebagai sebuah pengaruh
penting terhadap pikiran sadar. Vigotsky menonjolkan pikiran bahwa pembelajaran
dan perkembangan tidak dapat dipisahkan dari konteksnya. Cara siswa
berinteraksi dengan dunia, dengan orang, objek dan institusi di dalamnya.
Vygotsky
sangat menekatkan faktor interpersonal dan menganggap bahwa lingkungan sosial
sangat penting bagi pembelajaran dan berfikir bahwa interaksi sosial mengubah
atau mentransformasi pengalaman-pengalaman belajar. Aktifitas sosial adalah
sebuah fenomena yang membantu menjelaskan perubahan-perubahan dalam pikiran
sadar dalam membentuk teori psikologis yang menyatukan perilaku dan pikiran.
Pandangan
Vygotsky merupakan bentuk konstruktivisme dialektikal (kognitif) karena
menyoroti interaksi antara orang-orang dan lingkungan. Lingkungan sosial
disebut mediasi yang merupakan mekanisme pokok dalam perkembangan dan
pembelajaran dengan penjelasan bahwa semua proses psikologis manusia (proses
mental yang lebih tinggi) dimensi oleh alat-alat psikologi seperti bahasa,
tanda-tanda, dan simbol-simbol. Orang dewasa mengajarkan alat-alat ini kepada
anak-anak dalam aktivitas bersama (kerja sama). Setelah anak-anak menginternalisasi
alat-alat tersebut, alat-alat ini bertindak sebagai mediator untuk proses
psikologi anak-anak lebih lanjut (Karpov & Haywood, 1998 dalam Schunk
2012:340).
Salah
satu konsep penting dari teori sosiokultural Vigotsky adalah Zone of
Proximal Development (ZPD) yang didefinisikan sebagai jarak antara level
perkembangan aktual yang ditentukan melalui pemecahan masalah dengan bantuan
orang dewasa atau melalui kerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu.
2.3
Kasus Belajar Yang Berpijak Pada Teori Belajar Konstruktivisme
Pembelajaran di kelas dilihat sebagai proses konstruksi
pengetahuan oleh siswa. Jadi, pada teori belajar ini mengharuskan siswa
bersikap aktif untuk mengembangkan pengetahuannya bukan pembelajar atau orang
lain. Siswalah yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Dalam
proses ini siswa mengembangkan gagasan atau konsep baru berdasarkan analisis
dan pemikiran ulang terhadap pengetahuan yang diperoleh pada masa lalu dan masa
kini. Selain itu, kreativitas dan keaktifan siswa akan sangat membantu mereka
untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Dengan demikian,
pembelajaran dengan menggunakan teori konstruktivisme ini perlu disusun
berorientasi lebih kepada kebutuhan dan kondisi siswa, dengan memicu rasa ingin
tahu dan keterampilan memecahkan masalah melalui inquiri learning, reflective
learning dan problem-based learning.
Hakikat pembelajaran konstruktivisme oleh Brooks dan Brooks
dalam Degeng mengatakan baha pengetahuan adalah non-obyektif, bersifat
temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan
pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta
interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi
dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si
belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung
pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam
menginterpretasikannya.
Contoh tersebut menunjukkan bahwa pemahaman seseorang
terhadap suatu konsep dapat berkembang dan berubah. Perkembangan dan perubahan
terhadap pemahaman konsep terjadi sesuai pengalaman dan interaksi dengan
pandangan lain yang ditemukan kemudian.
2.4
Metode Mengajar Dalam Pendekatan Konstruktivisme
a.
Tanya
Jawab (questioning)
Bertanya
(questioning) merupakan strategi atau metode utama lainya dalam pendekatan
konstruktivisme untuk mengukur sejauh mana siswa dapat mengenali konsep-konsep
pada topik pelajaran yang akan dipelajari. Bertanya dalam sebuah pembelajaran
dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai
kemampuan berpikir siswa. Dalam pembelajaran yang berbasis inquiry, kegiatan
bertanya merupakan bagian yang sangat penting untuk menggali informasi,
mengkonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui, serta mengarahkan perhatian
pada hal-hal yang belum diketahuinya.
b.
Penyelidikan/Menemukan
(Inquiry)
Pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan sebagai hasil penyelidikan sampai
kepada menemukan sendiri bukan hasil mengingat seperangkat fakta, guru harus
berusaha selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan untuk
berbagai materi yang diajarkan. Metode inkuiri dalam proses pembelajaran lebih
bersifat student centered. Dalam pembelajaran seorang guru hendaknya dapat
mengajarkan bagaimana siswa dapat membelajarkan dirinya, karena siswa yang
lebih banyak melakukan kegiatan pembelajaran. Belajar dengan metode inkuiri
pada dasarnya adalah cara siswa untuk menemukan sendiri pengetahuannya. Penggunaan
metode inkuiri oleh guru akan mengurangi aktivitas guru di kelas dalam arti
tidak terlalu banyak bicara, karena aktivitas lebih banyak dilakukan oleh
siswa. Guru tidak lagi berperan sebagai pemberi pengetahuan melainkan
menyiapkan situasi yang menggiring siswa untuk bertanya, mengamati, menemukan
fakta, konsep, menganalisis data dan mengusahakan kemungkinan-kemungkinan
jawaban dari suatu masalah. Inkuiri memberikan perhatian dalam mendorong, siswa
menyelidiki secara independen, dalam suatu cara yang teratur. Melalui Inkuiri,
siswa bertanya memperoleh dan mengolah data secara logis sehingga mereka dapat
mengembangkan strategi intelektual secara umum yang mereka gunakan untuk
mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Belajar dengan melakukan inkuiri pada
dasarnya adalah cara siswa untuk ”menemukan sendiri”, dan karena itu Bruner
menyebutnya sebagai discovery. Strategi mengajar dengan model inkuiri ini
menempatkan siswa tidak hanya dalam posisi mendengarkan, akan tetapi siswa
melibatkannya dalam pencarian intelektual yang aktif, pencarian dengan
memanipulasi data yang dikumpulkan berdasarkan pengamatan dan pengamalannya
sendiri, atau oleh orang lain, untuk dipahami dan dibermaknakan (Wiriaatmadja,
2002: 137).
Metode inkuiri
menekankan pada permasalahan bagaimana siswa menggunakan sumber belajar. Sumber
belajar dipakai sebagai upaya untuk mengidentifikasi masalah dan merumuskan
masalah. Peranan siswa dalam pembelajaran inkuiri adalah sebagai pengambil
inisiatif atau prakarsa dalam menemukan sesuatu untuk mereka sendiri. Dalam hal
ini siswa harus aktif menggunakan cara belajarnya sendiri, sehingga mengarah
pada pengembangan kemampuan berpikir melalui bimbingan yang diberikan oleh
guru. Permasalahan dalam inkuiri berkaitan dengan sumber belajar adalah bukan
pada dari mana sumbernya, tetapi lebih menekankan pada bagaimana siswa dan guru
memanfaatkan sumber tersebut dalam proses pembelajaran. Jadi sumber belajar
harus dimanfaatkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan mengidentifikasi
masalah melalui pertanyaan-pertanyaan yang terarah pada penjelasan masalah.
Berikut adalah
langkah-langkah inkuiri menurut beberapa ahli diantaranya adalah; Hasan, Said
Hamid (1996: 14), langkah-langkah inkuiri adalah :
1) Perumusan
masalah,
2) pengembangan
hipotesis,
3) pengumpulan
data,
4) pengolahan
data,
5) pengujian
hipotesis, dan
6) penarikan
kesimpulan.
Menurut Dahlan
(1990: 169) langkah-langkah inkuiri adalah
1) orientasi,
2) hipotesis,
3) definisi,
4) eksplorasi,
5) pembuktian,
6)
generalisasi.
Sedangkan
menurut Joyce & Weil (2000: 473-475) mengemukakan langkah-langkah inkuiri
sebagai berikut :
1) penyajian
masalah,
2) pengumpulan
data dan verifikasi data,
3) mengadakan
eksperimen dan pengumpulan data,
4) merumuskan
penjelasan,
5) mengadakan
analisis tentang proses inkuiri.
Menurut Nurhadi
(2003: 13): adalah
i.
Merumuskan
masalah,
ii.
Mengamati
dan melakukan observasi,
iii.
Menganalisis
dan meyajikan hasil tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya,
iv.
Mengkomunikasikannya
atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang
lain.
c.
Komunitas
Belajar (Learning Community)
Komunitas
belajar atau belajar kelompok adalah pembelajaran dengan bekerjanya sejumlah
siswa yang sudah terbagi kedalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan
tertentu secara bersama-sama (Moejiono,1991/1992: 60). Pengembangan pembelajaran
dalam kelompok dapat menumbuhkan suasana memelihara disiplin diri, dan
kesepakatan berperilaku. Melalui kegiatan kelompok terjadi kerja sama antar
siswa, juga dengan guru yang bersifat terbuka. Belajar berkelompok dapat
dijadikan arena persaingan sehat, dan dapat pula meningkatkan motivasi belajar
para anggota kelompok.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Belajar
merupakan proses pembentukan pengetahuan yang dilakukan oleh peserta didik. Ia
harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi
makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Menurut para ahli
konstruktivisme, belajaran juga dipengaruhi oleh konteks, keyakinan, dan sikap
siswa. Dalam proses pembelajaran para siswa didorong untuk menggali dan
menemukan pemecahan masalah mereka sendiri serta mencoba untuk merumuskan
gagasan-gagasan dan hipotesis. Mereka diberikan peluang dan kesempatan yang
luas untuk membangun pengetahauan awal mereka. Dalam perkembangannya terdapat
pemikiran dalam teori konstruktivisme ini, namun semua berdasarkan pada asumsi
dasar yang sama tentang belajar. Dan teori konstruktivisme yang utama dikenal
dengan istilah konstruktivisme sosial (Social Constructivism) dan
konstruktivisme kognitif (Cognitive Constructivism).
3.2
Saran
Kita
sebagai calon guru harusnya mampu mendidik para peserta didik kita dengan baik,
dengan metode serta teori yang tepat sehingga proses belajar mengajar berjalan
dengan baik. Oleh karena itu pelajarilah teori-teori pembelajaran yang ada agar
kita mampu menemukan kecocokan dalam metode mengajar yang tepat.
DAFTAR
PUSTAKA
Fathurrohman Muhammad. 2017. Belajar dan Pembelajaran Modern:
Konsep Dasar, Inovasi dan Teori Pembelajaran. Yogyakarta: Grarudhawaca
Nai Firmina Angela. 2017. Teori Belajar dan Pembelajaran
Implementasi Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP, SMA dan SMK.
Yogyakarta: Deepublish Publisher
Susanto Ahmad. 2014. Pengembangan Pembelajaran IPS. Jakarta:
Prenadamedia Group
Suyanto, Jihad Asep. 2015. Menjadi Guru Profesional: Strategi
Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Global. Jakarta:
Erlangga.
No comments:
Post a Comment