BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Belajar bukan hanya menghafal dan bukan pula
mengingat, tetapi belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya
perubahan pada diri peserta didik. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat
ditunjukkan dalam berbagai bentuk, seperti perubahan pengetahuanya, sikap dan
tingkah laku ketrampilan, kecakapanya, kemampuannya, daya reaksinya dan daya
penerimaanya. Jadi, belajar adalah suatu proses yang aktif, proses mereaksi
terhadap semua situasi yang ada pada peserta didik. Belajar merupakan suatu
proses yang diarahkan pada suatu tujuan, proses berbuat melalui situasi yang
ada pada peserta didik.
Belajar merupakan sebuah proses yang terjadi
pada manusia dengan berpikir, merasa, dan bergerak untuk memahami setiap kenyataan
yang diinginkannya untuk menghasilkan sebuah perilaku, pengetahuan, atau
teknologi atau apapun yang berupa karya dan karsa manusia tersebut. Belajar
berarti sebuah pembaharuan menuju pengembangan diri individu agar kehidupannya
bisa lebih baik dari sebelumnya. Belajar pula bisa berarti adaptasi terhadap
lingkungan dan interaksi seorang manusia dengan lingkungan tersebut.
Menurut Arden N. Frandsen dalam Darsono
(2001: 192), mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang itu untuk belajar
antara lain adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih
luas, adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju,
adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan
teman-teman, adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan
usaha yang baru, baik dengan koperasi maupun dengan kompetensi, adanya
keinginan untuk mendapatkan rasa aman, adanya ganjaran atau hukuman sebagai
akhir dari pada belajar.
Secara luas, teori belajar selalu dikaitkan
dengan ruang lingkup bidang psikologi atau bagaimanapun juga membicarakan
masalah belajar ialah membicarakan sosok manusia. Ini dapat diartikan bahwa ada
beberapa ranah yang harus mendapat perhatian. Ranah-ranah itu ialah ranah
kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor.
Dalam suatu pembelajaran juga perlu didukung
oleh adanya suatu teori dan belajar, secara umum teori belajar dikelompokan
dalam empat kelompok atau aliran meliputi: (1) Teori Belajar Behavioristik (2)
Teori Belajar Kognitifistik (3) Teori Belajar Konstruktifistik (4) Teori
Belajar Humanistik.
Salah satu teori belajar yaitu humanistik
yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara
klien dan terapist) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah
kehidupannya. Teori ini menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas
permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapist hanya membimbing klien
menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, dalam Sudrajat bahwa
teknik-teknik assessment dan pendapat para terapist bukanlah hal yang penting
dalam melakukan treatment kepada klien. (Sudrajat, 2013).
Deskripsi di atas menunjukkan betapa
pentingnya mendeskripsikan dan mengkaji teori belajar humanistik dan
implikasinya dalam pembelajaran di tengah kegagalan pendidikan di Indonesia
yang lebih mementingkan dan hanya menjadikan aspek kognitif sebagai acuan
terbesar dalam mengukur kualitas pendidikan di Indonesia.
1.2
Rumusan Masalah
Adapun rumusan-rumusan masalahnya,
yaitu :
1. Apa pengertian belajar menurut
pandangan Humanistik?
2. Siapa saja tokoh pengikut aliran
teori belajar Humanistik?
3. Apa contoh kasus belajar yang
berpijak pada teori belajar Humanistik?
4. Apa bentuk-bentuk pembelajaran
pada teori belajar behaviolisme?
1.3
Tujuan
Tujuan dari rumusan masalah yang
telah dibuat, yaitu :
1. Mengetahui pengertian belajar
menurut pandangan Humanistik
2. Mengetahui tokoh pengikut aliran
teori belajar
3. Mengetahui kasus belajar yang
berpijak pada teori belajar Humanistik
4. Mengetahui bentuk-bentuk
pembelajaran pada teori belajar behaviolisme
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian belajar menurut
pandangan Humanistik
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku
belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya,
yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri
sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang
ada dalam diri mereka.
Dalam teori belajar humanistik proses belajar
harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Meskipun teori ini sangat
menekankan pentingya isi dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih
banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang
paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam
bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa
yang bisa kita amati dalam dunia keseharian.. Teori apapun dapat dimanfaatkan
asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan
sebagainya) dapat tercapai.
Dalam teori belajar humanistik, belajar
dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.
Peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu
mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha
memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut
pandang pengamatnya. (Uno, 2006: 13)
Selanjutnya Gagne dan Briggs mengatakan bahwa
pendekatan humanistik adalah pengembangan nilai-nilai dan sikap pribadi yang
dikehendaki secara sosial dan pemerolehan pengetahuan yang luas tentang
sejarah, sastra, dan pengolahan strategi berpikir produktif Pendekatan sistem
bisa dapat di lakukan sehingga para peserta didik dapat memilih suatu rencana
pelajaran agar mereka dapat mencurahkan waktu mereka bagi bermacam-macam tujuan
belajar atau sejumlah pelajaran yang akan dipelajari atau jenis-jenis pemecahan
masalah dan aktifitas-aktifitas kreatif yang mungkin dilakukan.pembatasan
praktis dalam pemilihan hal-hal itu mungkin di tentukan oleh keterbatasan
bahan-bahan pelajaran dan keadaan tetapi dalam pendekatan sistem itu sendiri
tidak ada yang membatasi keanekaragaman pendidikan ini. (Uno, 2006: 13).
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si
peserta didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing
individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Selain teori belajar behavioristik dan toeri
kognitif, teori belajar humanistik juga penting untik dipahami. Menurut teori
humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan
memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik
sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori
kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian kajian psikologi belajar.
Teori humanistik sangat mementingkan si yang dipelajari dari pada proses
belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang
konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta
tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain,
teori ini lebih tertarik pada penertian belajar dalam bentuknya yang paling
ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya,
seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini
antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel.
Pandangannya tentang belajar bermakna atau “Meaningful learning” yang juga
tergolong dalam aliran kognitif ini, mengatakan bahwa belajar merupakanasmilasi
bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman
emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan
keinginan dari pihak si pelajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan
baru ke dalam strujtur konitif yang telah dimilikinya. Teori humanstik berpendapat
bahwa belajar apapu dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan
manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri
orang yang belajar secara optimal.
Pemahamanan terhadap belajar yang diidealkan
menjadikan teori humanistik dapat memanfaatkan teori belajar apapun asal
tujuannya untuk memanusiakan manusia. Hal ini menjadikan teori humanistik
bersifat elektik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau
pendekatan belajar tertentu, akan ada kebaikan dan ada pula kelemahannya. Dalam
arti ini elektisisme bukanlah suatu sistem dengan membiarkan unsur-unsur
tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya. Teori humanistik akan
memanfaatkan teori-teori apapun, asal tujuannya tercapai, yatu memanusiakan manusia.
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Banyak
ahli di dalam menyusun teorinya hanya terpaku pada aspek tertentu yang sedang
menjadi pusat perhatiannya. Dengan pertimbangan-pertimbangantertentu setiap
ahli melakukan penelitiannya dari sudut pandangnya masing-masing dan menganggap
bahwa keterangannya tentang bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai
keterangan yang paling memadai. Maka akan terdapat berbagai teori tentang
belajar sesuai dengan pandangan masong-masing.
Dari penalaran di atas ternyata bahwa
perbedaan antara pandangan yang satu dengan pandangan yang lain sering kali
hanya timbul karena perbedaan sudut pandangan semata, atau kadang-kadang hanya
perbedaan aksentuasi. Jadi keterangan atau pandangan yang berbeda-beda itu
hanyalah keterangan mengenai hal yang satu dan sama dipandang dari sudut yang
berlainan. Dengan demikian teori humanistik dengan pandangannyadengan
pandangannya elektik yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai
teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia bukan saja mungkin untuk
dilakukan, tetapi justru harus dilakukan.
Teori belajar humanistik pada dasarnya
memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu proses
belajar dapat dianggap berhasil apabila si pembelajar telah memahami lingkungannya
dan dirinya sendiri. Artinya peserta didik mengalami perubahan dan mampu
memecahkan permasalahan hidup dan bisa menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.Dengan kata lain, si pembelajar dalam proses belajarnya harus
berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan
sebaik-baiknya. (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 56). Tujuan utama para pendidik
adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing
individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka
(Drs.M.Dalyono, 2012 : 43).
Senada dengan pendapat di atas, belajar
adalah pentingnya isi dari proses belajar bersifat elektrik, tujuannya adalah
memanusiakan manusia atau mencapai aktualisasi diri. Aplikasi teori humanistik
dalam pembelajaran guru lebih mengarahkan siswa untuk berfikir induktif,
mementingkan pengalaman, dan membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam
proses belajar. Hal ini dapat diterapkan melalui kegiatan diskusi, membahas
materi secara berkelompok sehingga siswa dapat mengemukakan pendapatnya
masing-masing didepan kelas. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
bertanya apabila kurang mengerti terhadap materi yang diajarkan. Pembelajaran
berdasarkan teori humanistik yang bersifat pembentukan kepribadian, hati
nurani, perubahan sikap dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari
keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif
dalam belajar dan terjadi pola perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas
kemauan sendiri (Herpratiwi, 2009: 39). Mampu menerima dirinya sendiri,
perasaan mereka dan lain-lain disekitarnya. Untuk menjadi dewasa dengan
aktualisasi dirinya, siswa perlu ruang kelas yang bebas yang memungkinkan
mereka menjadi kreatif (Sudarwan Danim dan H.Khairil,2011:23-26).
Perhatian psikologi humanistik terutama
tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing
oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman
mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistis penyusunan dan
penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa.
Gerakan munculnya psikologi humanistik disebabkan oleh semacam kesadaran
bersama beranggapan bahwa pada dasarnya tidak ada teori psikologi yang
berkemampuan menjelaskan manusia sebagai suatu totalitas dan yang sewajarnya
mengfungsikan manusia. Mereka meyakini bahwa tiap individu pada dasarnya
mempunyai kapasitas serta dorongan sendiri untuk mengembangkan potensi
kemanusiaannya (Herpratiwi, 2009: 37).
Menurut aliran humanistik, para pendidik
sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan
kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik
melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang untuk menjadi
lebih baik dan juga belajar (Sukarjo dan Komarudin, 2009: 56). Teori humanisme
berfokus pada sikap dari kondisi manusia yang mencakup kesanggupan untuk
menyadari diri, bebas memilih untuk menentukan nasib sendiri, kebebasan dan
bertanggung jawab, kecemasan sebagai suatu unsur dasar pencarian. Perkembangan
pribadi yang muncul berdasarkan keunikan masing-masing individu. Teori ini
berfokus pada saat sekarang dan menjadi apa seorang itu dimasa depan.
Pendekatan ini menyajikan kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan
perkembangan. Menghapus penghambat aktualisasi potensi pribadi. Membantu siswa
menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri
dan bertanggung jawab atas arah kehidupanya sendiri (Herpratiwi, 2009: 38).
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang
pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. (Uno, 2006: 13).
Jadi, teori belajar humanistik adalah suatu
teori dalam pembelajaran yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia
serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya.
2.2
Tokoh pengikut aliran teori
belajar Humanistik
Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara
teoritik antara lain adalah:
A.
Arthur Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967)
mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau
arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai
arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau
tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah
bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa
sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk
itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa
dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin
merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa
yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs
berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa
mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana
mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga
yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi
pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan
kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan
dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat
pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan
lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu
dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi,
hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu
terlupakan.
B.
Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri
individu ada dua hal :
·
suatu usaha yang positif untuk berkembang
·
kekuatan untuk melawan atau menolak
perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu
berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada
diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut
untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut
membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain
seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan
diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi
dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri.
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs)
manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan
pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan
yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya.
Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting
yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia
mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau
kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.
C.
Carl Rogers
Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park,
Illinois Chicago, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers
menekuni bidang agama tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia
mempelajari psikologi klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D
pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society
untuk mencegah kekerasan pada anak.
Gelar profesor diterima di Ohio State tahun
1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan
secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy. Rogers membedakan
dua tipe belajar, yaitu:
1. Kognitif (kebermaknaan)
2. Experiential ( pengalaman atau
signifikansi)
Guru menghubungan pengetahuan akademik ke
dalam pengetahuan terpakai seperti memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai
mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan
siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa
secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek
yang membekas pada siswa.
Carl R. Rogers dalam Hadis (2006: 71) kurang
menaruh perhatian kepada mekanisme proses belajar. Belajar dipandang sebagai
fungsi keseluruhan pribadi. Mereka berpendapat bahwa belajar yang sebenarnya
tidak dapat berlangsung bila tidak ada keterlibatan intelektual maupun
emosional peserta didik. Oleh karena itu, menurut teori belajar humanisme bahwa
motifasi belajar harus bersumber pada diri peserta didik.
Roger membedakan dua ciri belajar, yaitu: (1)
belajar yang bermakna dan (2) belajar yang tidak bermakna. Belajar yang
bermakna terjadi jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran dan
perasaan peserta didik, dan belajar yang tidak bermakna terjadi jika dalam
proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran akan tetapi tidak melibatkan aspek
perasaan peserta didik.
Bagaimana proses belajar dapat terjadi
menurut teori belajar humanisme?. Orang belajar karena ingin mengetahui
dunianya. Individu memilih sesuatu untuk dipelajari, mengusahakan proses
belajar dengan caranya sendiri, dan menilainya sendiri tentang apakah proses
belajarnya berhasil.
Menurut Roger, peranan guru dalam kegiatan
belajar peserta didik menurut pandangan teori humanisme adalah sebagai
fasilitator yang berperan aktif dalam : (1) membantu menciptakan iklim kelas
yang kondusif agar peserta didik bersikap positif terhadap belajar, (2)
membantu peserta didik untuk memperjelas tujuan belajarnya dan memberikan
kebebasan kepada peserta didik untuk belajar, (3) membantu peserta didik untuk
memanfaatkan dorongan dan cita-cita mereka sebagai kekuatan pendorong belajar,
(4) menyediakan berbagai sumber belajar kepada peserta didik, dan (5) menerima
pertanyaan dan pendapat, serta perasaan dari berbagai peserta didik sebagaimana
adanya. (Hadis, 2006: 72)
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses
pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan
pembelajaran, yaitu:
1. Menjadi manusia berarti memiliki
kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal
yang tidak ada artinya.
2. Siswa akan mempelajari hal-hal
yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti
mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
3. Pengorganisasian bahan pengajaran
berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi
siswa.
4. Belajar yang bermakna dalam
masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
D.
Kolb
Menurut Kolb dikutip dari UNI, 2008:15
(Thobroni, Muhammad dan Alif Mustofa, 2011: 159-160) membagi tahapan belajar
menjadi empat tahap, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap pengalaman konkret
Pada tahap paling dini dalam proses belajarm seorang
siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mampu
memiliki kesadaraan tentang hakikat kejadian tersebut. Dia pun belum mengerti
bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu.
2. Pengalaman aktif dan reflektif
Pada tahap kedua, siswa mulai mampu mengadakan observasi
terhadap suatu kejadian dan mulai
berusaha memikirkan dan memahaminya.
3. Konsepualisasi
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar membuat abstraksi
atau teori tentang suatu hal yang pernah diamatinya. Siswa diharapkan mampu
membuat aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh kejadian yang
meskipun tampak berbeda-beda mempunyai aturan yang sama.
4. Eksperimentasi aktif
Pada tahap akhir, siswa mampu mengaplikasi suatu aturan
umum ke situasi yang baru. Misalnya, dalam matematika, asal-usul sebuah rumus.
Akan tetapi, ia juga mampu memaknai rumus tersebut untuk memecahkan masalah
yang belum pernah ia temui sebelumnya. Menurut kolb, sistem belajar semacam ini
terjadi secara berkesinambungan dan berlangsung tanpa disadari siswa.
E.
Honey Dan Mumford
Berdasarkan teori kolb, Honey dan Mmford
dikutip dari UNI, 2008: 16 (Thobroni, Muhammad dan Alif Mustofa, 2011: 160-161)
membuat penggolongan siswa menjadi empat macam, yaitu tipe siswa aktivis,
reflektot, teoretis dan pragmatis.
1. Tipe siswa aktivis bercirikan
mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru. Mereka
cendrung berpikiran terbuka dan mudah diajak berdialog. Namun, siswa semacam
ini biasanya kurang skeptik terhadap sesuatu. Kadang, identik dengan sifat
mudah percaya. Dalam proses belajar, mereka menyukai metode yang mampu
mendorong seseorang menemukan hal-hal barum seperti brainstrorming atau problem
solving. Akan tetapi, mereka akan cepat merasa bosan dengan hal-hal yang
memerlukan waktu lam dalam implementasi.
2. Tipe siswa reflektor adalah
sebaliknya. Mereka cendrung sangat berhati-hati mengambil langkah. Dalam proses
pengambilan keputusa, siswa tipe ini cenderung konservatif, yaiutu mereka lebih
suka menimbang-nimbang secara cermat, baik buruk suatu keputusan.
3. Tipe siswa teoretis biasanya
sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian
yang sifatnya sangat subjektif. Bagi mereka, berpikir secara rasional adalah
sesuatu yang penting. Mereka juga biasanya sangat skeptik dan tidak menyukai
hal-hal yang bersifat spekulatif.
4. Tipe siswa pragmatis biasanya
menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Siswa tipe
ini suka berlarut-berlarut dalam membahas aspek teoretis filosofis tertentu.
F.
Hebermas
Ahli psikologis lainnya adalah hebermas yang
dalam pandangannya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan
lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, hebermas
mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Belajar teknis (Technical
Learning)
Dalam belajar teknis, siswa belajar bagaimana
berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola
alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk
itu.
2. Belajar praktis (practical
learning)
Dalam belajar praktis, siswa juga belajar juga belajar
interaksi. Akan tetapi, pada tahap ini lebih dipentingkan adalah interaksi
antara dirinya dan orang-orang di sekelilingnya.
3. Belajar emansipatoris
(emancipatoris learning)
Dalam tahap ini, siswa berusaha mencapai pemahaman,
kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan kultural dari suatu lingkungan.
2.3
Kasus belajar yang berpijak pada
teori belajar Humanistik
Teori humanistik sering dikritik karena sukar
diterapkan daam konteks yang lebih praktis. Teori ini diangagap lebih dekat
dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dari pada bidang pendidikan,
sehingga sukar menterjemahkannya ke dalam langkah-langkah yang lebih kongkret
dan praktis. Namun karena sifatnya yang ideal, yaitu memanusiakan manusia, maka
teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran
untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Semua komponen pendidikan temasuk tujuan
pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang
dicita-citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri. Untuk itu,
sangat perlu diperhatikan bagaimana perkembangan peserta didik dalam
mengaktualisasi dirinya, pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri.
Pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam belajar perlu
diperhatikan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran. Karena seseorang akan
dapat belajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan
dapat membuat pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia akan berkembang.
Dengan demikian teori humanistik mampu menjelaskan bagaimana tujuan yang ideal
tersebut dapat dicapai.
Teori humanistik akan sangat membantu para
pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga
upaya pembelajaran apapun dan dalam konteks manapun akan selalu diarahkan dan
dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori humanistik ini masih sukar
diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan
operasional, namun sumbangan teori ni amat besar. Ide-ide, konsep-konsep,
taksonomi-taksonomi tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik
dan guru untuk memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapat membantu
mereka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan
tujuan, penentuan materi, pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan
alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut.
Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara
sistematis, tahap demi tahap secara ketat, sebagai mana tujuan-tujuan
pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi
belajar yang dapat diatur dan ditentukan, serta pengalaman-pengalaman belajar
yang dipilih untuk siswa, mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti
bagi siswa (Rogers dalam Snelbecker, 1974). Hal tersebut tidak sejalan dengan
teori humanistik. Menurut teori ini, agr belajar bermakna bagi siswa,
diperlukan insiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sendiri. Maka siswa akan
mengalami belajar eksperiensial (experiential learning).
Dalam prakteknya teori humanistik ini
cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman,
serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Oleh
sebab itu, walaupun secara ekspilsit belum ada pedman baku tantang
langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik, namun paling tidak
langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik, namun paling tidak
langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan
(2001) dapat digumakan sebagi acuan. Langkah-langkah yang dimaksud adalah
sebagi berikut :
1. Menentukan tujuan-tujuan
pembelajaran.
2. Menentukan materi pembelajaran.
3. Mengidentifikasi kemampuan awal
(entri behvior) siswa.
4. Mengidentifikasi topik-topik
pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami
dalam belajar.
5. Merancang fasilitas belajar
seperti lingkungan dan media pembelajaran.
6. Membimbing siswa belajar secara
aktif.
7. Membimbing siswa untuk memahami
hakikat makna dari pengalaman belajarnya.
8. Membimbing siswa membuat
konseptualisasi pengalaman belajarnya.
9. Membimbing siswa dalam mengaplikasikan
konsep-konsep baru ke situasi nyata.
10. Mengevaluasi proses dan hasil
belajar.
2.4
Bentuk-bentuk pembelajaran pada
teori belajar Humanistik
A.
Pendidikan Terbuka (Open Education)
Pendidikan terbuka adalah proses pendidikan
yang memberikan kesempatan kepada murid untuk bergerak secara bebas di sekitar
kelas dan memilih aktifitas belajar mereka sendiri. Dimana dalam hal ini guru
hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator serta menjadi pembimbing
mereka (peserta didik) dalam belajar. Dalam proses seperti ini biasanya
lingkungan fisik kelas berbeda dengan kelas tradisional. Individu/peserta didik
dalam proses belajarni tidak hanya sekedar menjadi pendengar informasi yang
disampaikan oleh pendidik. Tapi diharapkan pesrta didik mampu untuk berkreasi
dan berperan aktif terhadap proses belajar. Sehingga memungkinkan munculnya
keterampilan-keterampilan atau suatu keinginan-keinginan tertentu.
Adapun kriteria yang disyaratkan dengan pendidikan ini
antara lain:
1. Tersedia fasilitas yang memudahkan
proses belajar.
2. Tidak adanya larangan pada peserta
diik untuk bergerak secara bebas di ruang kelas, serta pengeksplorasian dari kemampuannya.
3. Adanya suasana yang harmonis,
penuh kasih saying,hangat, saling menghargai dan keterbukaan.
4. Jika terjadi suatu masalah pribadi
dengan peserta didik, pendidik akan menyelesaikannya dengan jalan komunikasi secara pribadi
dengan peserta didik yang bersangkutan tanpa melibatkan kelompok atau pihak
lain yang tidak berhubungan.
5. Guru mempersepsi dengan cara
mengamati setiap proses yang dilalui murid dan membuat catatan dan penilaian
secara individual, hanya sedikit sedikit sekali diadakan tes formal.
6. Adanya kesempatan untuk
pertumbuhan profesional bagi guru, maksudnya guru dapat menggunakan bantuan
pihak lain seperti: asisten pengajar, rekan sekerjanya, atau sejenisnya.
7. Guru menghargai kreativitas,
mendodorng berpartisipasi, dan memberikan kebebasan dan hasil-hasil yang
bersifat afektif secara lebih baik.
B.
Pembelajaran Mandiri (Independent Learning)
Pembelajaran mandiri adalah proses
pembelajaran yang menuntut murid menjadi subjek yang dapat merancang, mengatur,
dan mengontrol kegiatan mereka sendiri secara bertanggung jawab. Pembelajaran
mandiri juga dapat dikatakan sebagai suatu system pembelajaran yang
memungkinkan siswa dapat melakukannya sendiri dan tidak tergantung pada factor
guru, teman, atau faktor lainnya. Dalam pembelajaran model ini peran seorang
pendidik yaitu memfasilitasi, mengkomunikasikan dan mendukung siswa dalam
menggunakan keterampilan yang telah mereka miliki.
Pembelajaran mendiri juga dapat diartikan
proses pembelajaran yang mengajak siswa melakukan tindakan mandiri. Tindakan
mandiri ini dirancang untuk menghubungkan pengetahuan akademik dengan kehidupan
siswa sehari-hari secaraa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan yang bermakna.
Tujuan ini mungkin menghasilkan hasil yang nyata. Dalam pembelajaran ini
membebaskan siswa untuk belajarsesuai dengan gaya belajar mereka sendiri,
sesuai dengan kecepatan belajar mereka dan sesuai dengan ara minat dan bakat
dalam menggunakan kecerdasan majemuk yang mereka miliki. Dalam pelaksanaannya,
proses ini cocok untuk pembelajaran ditingkat atau level perguruan tinggi, yang
mana pada level/tingkat tersebut lebih menuntut kemandirian dari peserta didik.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
1. Teori belajar humanistik adalah
suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan bagaimana memanusiakan
manusia serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya.
2. Tokoh-tokoh dari teori humanistik
ini antara lain : Arthur Combs, Maslow, Carl Rogers, Kolb, Honey dan Mumford,
dan Hebermas.
3. Salah satu prinsip teori belajar
humanistik adalah bahwa manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
Artinya, seseorang secara alamiah memiliki rasa ingin tahu dan keinginan yang
mendalam untuk mengeksplorasi terhadap dunianya.
4. Implikasi dari teori belajar
humanistik salah satunya guru sebagai fasilitator. Guru yang fasilitatif
mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa,
meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik, dan sebagainya.
5. Penerapan atau aplikasi teori
belajar humanistik ini tercermin dari peserta didik yang berperan sebagai
pelaku utama yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri, sedangkan guru
sebagai fasilitator (pendamping) dan motivator.
3.2
Saran
Kita sebagai calon guru harusnya mampu
mendidik para peserta didik kita dengan baik, dengan metode serta teori yang
tepat sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan baik. Oleh karena itu
pelajarilah teori-teori pembelajaran yang ada agar kita mampu menemukan
kecocokan dalam metode mengajar yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, Asri. 2005. Belajar
Dan Pembelajaran. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Brown, Douglas. 2007. Prisip
Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Prearson Education.
Karwono dan Heni Mularsih. 2010. Belajar
Dan Pembelajaran Serta Pemanfaatan Sumber Belajar. Ciputat : Cerdas Jaya.
Lefudin. 2014. Belajar dan
Pembelajaran. Yogyakarta: Deepublish
Uno, Hamzah. 2006. Orientasi
baru Dalam Psikologi Perkembangan.
Jakarta: Bumi aksara.
No comments:
Post a Comment