Tuesday, February 5, 2019

Makalah Tentang Al-Qur’an, Hadits dan Ijtihad Lengkap


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Al Qur'an adalah firman Allah yang di dalamnya terkandung banyak sekali sisi keajaiban yang membuktikan fakta ini. Salah satunya adalah fakta bahwa sejumlah kebenaran ilmiah yang hanya mampu kita ungkap dengan teknologi abad ke-20 ternyata telah dinyatakan Al Qur'an lebih dari  1.400 tahun lalu. Tetapi, Al Qur'an tentu saja bukanlah kitab ilmu pengetahuan. Namun, dalam sejumlah ayatnya terdapat banyak fakta ilmiah yang dinyatakan secara sangat akurat dan benar yang baru dapat ditemukan dengan teknologi abad ke-20. Fakta-fakta ini belum dapat diketahui di masa Al Qur'an diwahyukan, dan ini semakin membuktikan bahwa Al Qur'an adalah firman Allah.
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1). Dengan demikian sumber ajaran islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam. Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama Islam bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah. Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syari‟ah dan akhlak) dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat runtuk mengembangkannya. Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ‟ain , yakni kewajiban pribadi setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.
Allah telah menetapkan sumber ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Ketetapan Allah itu terdapat dalam Surat An-Nisa (4) ayat 59 yang artinya :” Hai orang-orang yang beriman, taatilah (kehendak) Allah, taatilah (kehendak) Rasul-Nya, dan (kehendak) ulil amri di antara kamu ...”.
 Menurut ayat tersebut setiap mukmin wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak Rasul dan kehendak ‟penguasa‟ atau ulil amri (kalangan) mereka sendiri. Kehendak Allah kini terekam dalam Al-Quran, kehendak Rasul terhimpun sekarang dalam al Hadis, kehendak ‟penguasa‟ (ulil amri) termaktum dalam kitab-kitab hasil karyaorang yang memenuhi syarat karena mempunyai ”kekuasaan” berupa ilmu  pengetahuan. Pada umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum islam adalah Alquran dan hadist. Dalam sabdanya Rasulullah SAW bersabda : “Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat  selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.”
Dan disamping itu pula para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum islam, setelah Alquran dan hadist. Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan mempergunakan seluruh kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia yang memenuhi syarat untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta mengalirkan ajaran, termasuka ajaran mengenai hukum (fikih) Islam dari keduanya.

1.2              Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan malasah, berikut ini :
1.      Apa itu Al-Qur’an, hadits dan ijtihad?
2.      Kapan Al-Qur’an dan Hadits mulai dibukukan?
3.      Kapan Ijtihad muncul?
4.      Apa saja yang masuk dalam kategori ijtihad?




BAB II
PEMBAHASAN

2.1              AL-QUR'AN
Al-Qur'an (ejaan KBBI: Alquran, dalam bahasa Arab ÞõÑúÂä) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Ditinjau dari segi kebahasaan (etimologi), Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah.
 
Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya”.(75:17-75:18) 

2.1.1        Terminologi
Sebuah cover dari mushaf Al-Qur'an Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut: “Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir di mana membacanya termasuk ibadah”. Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut: "Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas".
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.

2.1.2        Nama-nama lain Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
1.      Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2) 
2.      Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1) 
3.      Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9) 
4.      Al-Mau'idhah (pelajaran/nasehat): QS(10:57) 
5.      Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37) 
6.      Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39) 
7.      Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82) 
8.      Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33) 
9.      At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192) 
10.  Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77) 
11.  Ar-Ruh (ruh): QS(42:52) 
12.  Al-Bayan (penerang): QS(3:138) 
13.  Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6) 
14.  Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102) 
15.  An-Nur (cahaya): QS(4:174) 
16.  Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20) 
17.  Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52) 
18.  Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51) 

2.1.3        Struktur dan pembagian Al-Qur'an
Surat, ayat dan ruku' Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar dan Al-‘A?r. Total jumlah ayat dalam Al-Qur'an mencapai 6236 ayat di mana jumlah ini dapat bervariasi menurut pendapat tertentu namun bukan disebabkan perbedaan isi melainkan karena cara/aturan menghitung yang diterapkan. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.

2.1.4        Makkiyah dan Madaniyah
Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf Manuskrip dari Al-Andalus abad ke-12 Penurunan Al-Qur'an Dipercayai oleh umat Islam bahwa penurunan Al-Qur'an terjadi secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 13 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah. Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat,sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.

2.1.5        Juz dan manzil
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.

2.1.6        Menurut ukuran surat
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada didalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu: As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus  Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya  Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya  Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya.

2.1.7        Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
1.                  Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.

2.                  Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin
A.    Pada masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.

B.     Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an. Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih: Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'." 
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).

2.1.8        Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.

2.1.9        Terjemahan
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
1.      Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
1)      Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik  Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002 
2)      Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus 
3)      An-Nur, oleh Prof. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy 
4)      Al-Furqan, oleh A.Hassan guru PERSIS 
2.      Terjemahan dalam bahasa Inggris
a.       The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali 
b.      The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall 

3.      Terjemahan dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
a.       Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta 
b.      Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda) 
c.       Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien 
d.      Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang 
e.       Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan 
f.       Al-Amin (bahasa Sunda) 

2.1.10    Adab Terhadap Al-Qur'an
Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.
Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”.
Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.

2.1.11    Hubungan dengan kitab-kitab lain
Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran Ibrahim), Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut:
1.      Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
2.      Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48) 
3.      Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64) 
4.      Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi maupun Kristen. 

2.2              AS-SUNNAH
2.2.1        Assunnah
Assunnah secara bahasa diartikan sebagai jalan yang biasa ditempuh, jalan yang terpuji. Dalam buku yang lain Assunnah didefinisikan sebagai sesuatu yang berjalan. Secara istilah Assunnah didefinisikan sebagai segala perbuatan, perkataan, penetapan dan siroh nabi Muhammad SAW baik sebelum bi’tsah maupun setelah bi’tsah.

2.2.2        Al-hadits
Menurut bahasa kata hadits memiliki arti;
1.      al jadid minal asyya’ (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.
2.      Qorib (yang dekat)
3.      Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya.
Dari makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw. Adapun hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik setelah diangkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz hadits secara khusus adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.
Hadis adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi saw, baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat.
Contoh Jenis dan ragam Hadits :
1.      Hadits yang berupa perkataan ( qaul ), Contoh : Rasulullah SAW bersabda : “ sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niatnya” (HR Bukhori Muslim)
2.      Hadits yang berupa perbuatan ( fi’il) : biasanya berupa penggambaran sahabat tentang perbuatan Rasulullah, seperti : wudhu Rasulullah, shalat beliau, cara haji, dll.
3.      Ketetapan ( taqrir ), yaitu diam atau persetujuan Rasulullah SAW saat melihat atau mendengar sesuatu dikerjakan oleh para sahabat. diantaranya hadits yang diriwayatkan dari Abu Said AlKhudry, ia berkata : Dua orang keluar bepergian, kemudian datang waktu sholat dan tidak ada air pada mereka, maka kemudian mereka bertayammum dengan tanah dan sholat. Kemudian (setelah berjalan lagi) mereka menemukan air dan masih dalam waktu sholat. Maka seorang dari mereka mengulang wudhu dan sholatnya, sementara yang lainnya tidak. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah SAW dan menyebutkan hal tersebut, maka Rasulullah mengatakan pada yang tidak mengulangi sholat dan wudhu : “ engkau mendapatkan sunnah, dan sholatmu sah “, dan mengatakan pada yang mengulangi sholat dan wudhu : “ bagimu pahala dua kali “. ( HR Abu Daud & an-Nasa’i)
4.      Sifat atau Siroh, berupa penggambaran sifat-sifat Rasulullah SAW, baik secara fisik maupun akhlak. diantaranya hadits : dari Jabir bin Abdullah ia berkata : Rasulullah SAW tidak pernah melihatku sejak aku masuk islam kecuali ia senantiasa tersenyum padaku . ( HR Tirmidzi )

2.2.3        As-Sunnah sebagai sumber nilai.
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah al-Qur'an. Bagi mereka yang telah beriman kepada al-Qur'an sebagai sumber hukum, maka secara otomatis harus percaya bahwa sunnah sebagai sumber Islam juga. Ayat-ayat al-Qur'an cukup banyak untuk dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini, seperti:
1.      Setiap Mu'min harus percaya kepada Allah dan Rasul-Nya (al-Anfal:20, Muhammad:33, An-Nisa':59, Ali 'Imran:32, al-Mujadalah:13, an-Nur:54, al-Ma'ida:92).
2.      Kepatuhan kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah (an-Nisa':80,  li 'Imran:31).
3.      Orang-orang yang menyalahi sunnah akan mendapatkan siksa (al-Anfal:13, al-Mujadalah:5, an-Nisa':115).
4.      Berhukum terhadap sunnah adalah tanda orang yang beriman (an-Nisa':65).
Kemudian perhatikan ayat-ayat: an-Nur:52, al-Hasyr:4, al-Mujadalah:20, an-Nisa':64 dan 69, al-Ahzab:36 dan 71, al-Hujurat:1, al-Hasyr:7, dan sebagainya.
Apabila sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam hal: cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji, dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat al-Qur'an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, muhtamal, dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan sunnah untuk menjelaskannnya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subjektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. 

2.2.4        Hubungan as-Sunnah dan al-Qur'an.
Dalam hubungan dengan al-Qur'an , maka as-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, penjelas atas ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi as-Sunnah dalam hubungan dengan al-Qur'an itu adalah sebagai berikut:
1.      Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum mujmal dan musytarak. Seperti hadits: "Shallukama ra'aitumuni ushalli" (shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran dari ayat al-Qur'an yang umum, yaitu: "Aqimush-shalah" (kerjakan shalat). Demikian pula dengan hadits: "khudzu 'annimanasikakum" (ambilah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsiran ayat al-Qur'an "Waatimmulhajja" (dan sempurnakan hajimu).
2.      Bayan Taqrir, yaitu as-Sunnah yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur'an, seperti hadits yang berbunyi: "Shaumul liru'yatihi wafthiruliru'yatihi" (berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat al-Qur'an dalam surat al-Baqarah:185.
3.      Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qu r'an, seperti pernyataan Nabi: "Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati" adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat al-Qur'an dalam surat at-Taubah:34 yang berbunyi sebagai berikut: "Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak yang kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang sangat pedih". Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.

2.2.5        Perbedaan antara al-Qur'an dan al-Hadits sebagai sumber hukum.
Sekalipun al-Qur'an dan as-Sunnah/al-Hadits sebagai sumber hukum Islam namun di antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain:
1.      al-Qur'an nilai kebenarannya adalah qath'i (absolut), sedangkan al-Hadits adalah zhanni (kecuali hadits mutawatir).
2.      Seluruh ayat al-Qur'an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup, tetapi tidak semua hadits kita jadikan sebagai pedoman hidup. Sebab di samping ada sunnah yang tasyri' ada juga sunnah yang ghairu tasyri'. Di samping ada hadits yang shahih (kuat) ada pula hadits yang dha'if (lemah),dan seterusnya.
3.      Al-Qur'an sudah pasti otentik lafazh dan maknanya, sedangkan hadits tidak.
4.      Apabila al-Qur'an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib maka setiap Muslim wajib mengimaninya, tetapi tidak demikian apabila masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadits (ada yang wajib diimani dan ada yang tidak).

2.3              IJTIHAD
Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Dasar disyariatkannya ijtihad adalah :
2.3.1        Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

2.3.2        Jenis-jenis ijtihad
A.                Ijma'
Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Adapun ijma’ dilihat dari cara perolehannya terbagi menjadi dua, yaitu:
1.      Ijma’ shahih, yaitu kesepakatan para mujtahid suatu masa terhadap sesuatu yang baru
2.      Ijma’ sukuty, yaitu kesepakatan para mujtahid suatu masa terhadap sesutau yang baru dimana sebagian berpendapat dengan pendapat yang jelas sementara yang lainnya tidak berpendapat namun melakukannya.

B.                Qiyâs
Beberapa definisi qiyâs' (analogi) 
1.      Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.
2.      Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.
3.      Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Qur'an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (ilat). 
Perbedaan di atas menunjukkan bahwa qiyas masih dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : qiyas ‘illat, qiyas sibh, dan qiyas aula

C.                Istihsân
Beberapa definisi Istihsân 
1.      Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
2.      Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya.
3.      Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
4.      Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
5.      Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.    
BAB III
PENUTUP

3.1         Kesimpulan
1.      Dasar hukum islam mencakup tiga hal, yaitu : Al-Quran, As-Sunnah dan Ijtihad
2.      Al-Quran merupakan kitab suci yang merevisi kitab-kitab suci sebelumnya dan bersifat absolute
3.      Al-quran pertama kali dibukukan pada masa khilafah Abu Bakar Shiddiq dan dilakukan standarisasi pada masa khilafah Utsman bin Affan
4.      Hal-hal yang kurang jelas dalam al-quran dijelaskan oleh as-sunnah dan ijtihad
5.      As-Sunnah merupakan semua hal yan berkaitan dengan Rasulullah dan para sahabatnya (perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat).
6.      Assunnah mulai dibukukan pada abad II Hijriyyah.
7.      Ijtihad diperlukan untuk menjawab tantangan masa terkait perkembangan masalah yang terjadi.
8.      Ijtihad dapat dibagi menjadi : Ijma’, qiyas, istihsan, musholat murshalah, Sududz Dzariah, Istishab, dan urf.
9.      Apapun wujud produk ijtihadnya, selama tidak bertentangan dengan al-quran dan hadits dapat dilaksanakan.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khollaf. Ushul Fiqh. Cetakan ke-8. Juz 1 Hatta Syamsudin, Lc. Modul ulumul Hadits (1).

Amru Abdul Mun’in Salim. Tarjamah Taisiri Ulumul Hadits. Maktabah Ibnu Taymiyyah. Kairo. 1997.

Abdul Hamid Hakim. Assulam. Maktabah Assa’diyyah Putra. http://muxlim.com/blogs/belajarislam/penulisan-dan-pembukuan-hadits-nabi

No comments:

Proposal Pembangunan Laboratorium SMP yang Benar

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Guna mendukung tercapainya Standar Pendidikan Nasional serta terwujudnya Program Wajar ...